KHITTAH PERJUANGAN
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
PENDAHULUAN
Organisasi dapat dikenali dengan berbagai cara, antara
lain; melalui atribut-atribut organisasi, jargon-jargon gerakan, out put
organisasi berupa karya dan kader-kadernya. Mengidentifikasi HMI dengan hal-hal
tersebut dipandang amat sederhana, karena terbukti bahwa kesemuanya tak mampu
mewakili kedalaman cita pejuangan HMI, memberi inspirasi bagi keberlanjutan
perjuangan, apalagi jika dikaitkan dengan upaya untuk mempertahankan daya juang
kader sepanjang hayat.
Diperlukan satu konsep yang menggambarkan semangat
ideologis kader HMI yang dapat menjawab kebutuhan tentang pentingnya daya tahan
setiap kader dalam mengawal cita-cita perjuangannya. Hal ini diyakini lebih
memiliki keunggulan dibandingkan sekadar atribut, simbol, jargon, ataupun klaim
terhadap alumni dan kader yang “sukses” di bidang tertentu. Artinya, HMI belum
dapat digambarkan dengan mengedepankan hal-hal tersebut.
Khittah Perjuangan HMI merupakan dokumen yang menggambarkan konsepsi
ideologis sebagai upaya kader memberi penjelasan tentang cara pandang HMI
mengenai semesta eksistensi yang wajib diakui, kebenaran yang wajib
diperjuangkan, jalan hidup yang wajib dijunjung tinggi, cita-cita yang perlu
diraih, dan nilai-nilai yang mengikat atau menjiwai kehidupannya secara
individual maupun sosial.
Khittah Perjuangan merupakan paradigma gerakan atau manhaj
yang merupakan penjelasan utuh tentang pilihan ideologis, yaitu prinsip-prinsip
penting dan nilai-nilai yang dianut oleh HMI sebagai tafsir utuh antara azas,
tujuan, usaha dan independensi HMI. Definisi ini merupakan kelanjutan dan
pengembangan dari berbagai tafsir azas yang pernah lahir dalam sejarahnya.
Tercatat bahwa sejak didirikanya di Yogyakarta pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366
H atau 5 Pebruari 1947 M, HMI pernah memakai sejumlah tafsir azas seperti;
tafsir azas HMI (1957), Kepribadian HMI atau Citra Diri (1963), Garis-garis
Pokok Perjuangan (1967) dan Nilai-nilai Dasar Perjuangan (1969).
Dokumen-dokumen tersebut merupakan tafsir terpisah dari tafsir
tujuan dan independensi. Sebagai paradigma gerakan, penafsiran terpisah antara
azas, tujuan dan independensi mengandung kecacatan karena suatu paradigma
gerakan yang kokoh harus merupakan kesatuan utuh antara landasan, tujuan dan
metodologi mencapai tujuan.
Muatan Khittah Perjuangan, dengan demikian, merupakan penjabaran
konsepsi filosofis azas, tujuan, usaha dan Independensi. Azas menjelaskan
landasan keyakinan HMI tentang ketuhanan, kesemestaan, kemanusiaan dan
kemasyarakatan, semangat perjuangan dan hari kemudiaan sebagai konsepsi
cita-cita masa depan kehidupan manusia. Keyakinan tersebut merupakan akar dari
segenap perbuatan manusia untuk menyempurna sebagai insan kamil atau cita ulil
albab dalam tujuan HMI. Keyakinan dalam Islam tertuang dalam prinsip tauhid
yang mengingkari segenap penghambaan, ketundukan dan keterikatan kepada hal-hal
yang menyebabkan hilangnya kesempatan menyempurna menuju kedekatan tertinggi di
hadapan Allah SWT. Keyakinan ini tidak dipahami secara dogmatis melainkan
dibenarkan oleh kesadaran yang sejenih-jernihnya.
Tafsir tujuan HMI dalam Khittah Perjuangan merupakan penjabaran
mengenai tujuan individual, sosial dan hakikat perkaderan sebagai upaya sistematis
HMI menuju cita-cita tersebut. Individu ulil albab dan masyarakat Islam yang
dicita-citakan akan melahirkan hubungan timbal balik. HMI tidak memisahkan
wilayah privat dan publik sebagai dua entitas kehidupan yang berbeda. Hal ini
karena Al-Qur’an memberitakan bahwa insan ulil albab merupakan sosok yang dapat
membentuk dan menata kehidupan sosial yang adil, sebaliknya kehidupan sosial
yang adil merupakan wahana pendidikan insaniyah yang utama untuk membentuk
pribadi-pribadi utama.
Tafsir usaha dan independensi dimaksudkan untuk memberi
penjelasan mengenai proses perjuangan yang diridhai untuk mencapai cita-cita.
Independensi merupakan nilai yang menyemangati proses secara sadar tersebut.
Independensi mengamanatkan perlunya kemandirian dan kemerdekaan menentukan
sikap untuk memilih kebenaran dan memperjuangkannya.
BAB I
ASAS
1.
Keyakinan
Muslim
Keyakinan merupakan
dasar dari setiap gerak dan aktivitas hidup manusia. Karena itu manusia secara fitri membutuhkan
keyakinan hidup yang dapat menjadi pegangan dan sandaran bagi dirinya. Ini
berarti manusia menyadari, bahwa dirinya adalah makhluk lemah yang membutuhkan
pertolongan, bimbingan dan perlindungan dari sesuatu yang diyakini sebagai yang
Maha. Perkara keyakinan tertuang dalam suatu sistem
keyakinan atau ideologi. Tiap-tiap sistem keyakinan memiliki konsepsi
tersendiri dalam mengantarkan pengikutnya pada pemahaman dan kepercayaan
terhadap tuhan. Pertama, sistem keyakinan yang obyeknya didasarkan pada sesuatu yang nyata.
Kebenaran diukur melalui indera dan pengalaman. Sistem ini disebut kebenaran
ilmiah. Secara filosofis kebenaran ilmiah memiliki kelemahan karena tidak dapat
menjelaskan sisi kehidupan yang berada di luar pengalaman inderawinya.
Salah satu di antaranya adalah
mengenai Tuhan. Tuhan tak dapat diyakini keberadaannya lewat bantuan sistem
keyakinan ilmiah. Selain obyeknya, metodenya juga rapuh karena setiap teori
yang diklaim sebagai kebenaran baru sekaligus mengandung keraguan. Manusia tak
dapat berpegang teguh pada prinsip yang di dalamnya mengandung kebenaran dan
keraguan sekaligus, karena hal itu bukan keyakinan, melainkan persangkaan saja.
Al-Qur’an menegaskan bahwa persangkaan tak dapat mengantarkan manusia pada
kebenaran. 1
Kedua, sistem keyakinan yang didasarkan
pada doktrin literal. Sistem ini dapat ditemukan dalam semua agama. Pada
dasarnya, sistem keyakinan literal mengingkari arti pentingnya akal sebagai
sarana verifikasi kebenaran. Baginya, kebenaran adalah sesuatu yang sudah jadi
secara sempurna dan harus diterima tanpa perlu menyadarinya terlebih dahulu.
Akibat sistem keyakinan literal, manusia potensial melarikan diri dari
kenyataan dan tantangan zaman setelah telanjur mendikotomi antara doktrin
ketundukan pada ayat suci dengan peran-peran peradaban manusia. Termasuk dalam
kategori ini adalah keyakinan yang didasarkan pada kebiasaan budaya yang
diwarisi dari nenek moyang yang tidak sesuai dengan petunjuk Tuhan. 2
Islam mengajarkan sistem keyakinan yang disebut Tauhid.
Tauhid berbeda dengan dua sistem keyakinan di atas karena cara pandangnya
terhadap eksistensi (wujud). Tauhid merupakan konsepsi sistem keyakinan yang
mengajarkan bahwa Allah SWT adalah zat Yang Maha Esa, sebab dari segala sebab
dalam rantai kausalitas. Ajaran Tauhid membenarkan bahwa manusia dibekali fitrah
yaitu suatu potensi alamiah berupa akal sebagai bekal untuk memilih sikap yang
paling tepat serta untuk mengenali dan memverifikasi kebenaran dan kesalahan (haq
dan bathil) secara sadar. Manusia meyakini Tuhan dengan metode yang
berbeda-beda.
Pada sistem keyakinan lainnya, “Yang Maha” atau yang dirumuskan
sebagai Tuhan, hanya dijelaskan berdasarkan persepsi dan alam pikir
manusia sendiri. Sedangkan dalam
konsepsi Tauhid, selain
pencarian akal manusia sendiri sebagai
alat mendekati kebenaran mutlak, juga melalui wahyu di mana Tuhan menyatakan
dan menjelaskan diri-Nya kepada manusia.1 Jadi, Tauhid memberi
tuntunan berupa wahyu Allah melalui para nabi. Tauhid merupakan inti ajaran
yang disampaikan pada seluruh manusia di setiap zaman. Ini berarti bahwa ajaran
Tauhid adalah ajaran universal.
Tauhid merupakan misi utama
seluruh nabi dan rasul yang diutus Allah SWT. Mereka menyampaikan risalah
tauhid sesuai dengan tingkat peradaban masyarakatnya. Syari’at Tuhan silih
berganti disempurnakan setiap kali nabi dan rasul diutus untuk mempersiapkan
datangnya nabi dan rasul penutup. Tauhid yang
disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir yang dijanjikan Allah,
dinyatakan dalam dua kalimat syahadat, yaitu; Asyhadu an lâ ilâha
illallâh, Wa asyhadu anna Muhammadan Rasûlullâh. Artinya, aku bersaksi
bahwasanya tiada ilah selain Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah
rasul Allah. Setiap manusia telah menyatakan syahadat ini sebelum ia
dilahirkan. Persaksian syahadat itu mengakibatkan manusia harus meniadakan
sesembahan, tempat bergantung dari segala sesuatu yang dipertu-hankan. Ini juga
berarti bahwa dimensi syahadat adalah pengakuan dan ketundukan.
Pengakuan bahwa Allah adalah Tuhan pencipta langit dan bumi serta
makhluk-makhluk yang ada dapat diakui oleh siapa saja yang menggunakan akalnya,
demikian juga dengan doktrin yang diterima sebagai warisan budaya. Namun jika
manusia diajak untuk tunduk dan berserah diri penuh kepada perintah Allah,
sebagian manusia menolaknya. Pengakuan yang tak dibarengi dengan ketundukan
pada hakikatnya adalah kecacatan Tauhid.
Allah SWT menurunkan wahyu melalui
Jibril sejak Adam as. sampai Muhammad
SAW, dalam bentuk shuhuf, ataupun dalam bentuk kitab. Wahyu-wahyu
sebelum diturunkannya Al Qur’an dibawa oleh para rasul sebagai petunjuk bagi
kaum dan kurun tertentu, untuk menata sistem kehidupan di zamannya
masing-masing, sedangkan Al Qur’an diturunkan sebagai petunjuk seluruh manusia
dan berlaku sepanjang masa. Selain sebagai petunjuk, Al Qur’an juga sebagai
kitab penjelas atas petunjuk dan pembeda (haq dan batil), serta pembenar dan
penyempurna kitab-kitab sebelumnya,4 sehingga
Al Qur’an mengandung ajaran yang sempurna dan terjaga keaslian dan
kelestariannya sampai hari kiamat.5
Kandungan Al Qur’an yang amat
penting terletak pada misi dan seruan kepada manusia untuk beriman, beribadah
serta beramar ma’ruf nahi mungkar. Al Qur’an juga dinyatakan sebagai kitab yang
memberi petunjuk, pembeda, pengingat, pembawa berita gembira, pembawa syari’at
yang lurus dan pedoman bagi manusia. Al
Qur’an diklaim bahwa dirinya adalah kitab yang membawa misi pembebasan bagi
manusia dari kegelapan menuju cahaya.6 Itulah
sebabnya manusia diperintah Allah agar menerima Al Qur’an tanpa keraguan.
Kandungan Al Qur’an tidak hanya
memuat ajaran tauhid dan peribadatan, tetapi Al Qur’an juga memberikan persepsi
tentang masalah-masalah
kosmologi, sejarah, fenomena sosial, membicarakan suatu entitas tertentu
secara mondial, misalnya tentang langit dan bumi dengan detail atau rinci.
Kelengkapan Al Qur’an ini diimbangi dengan seruan Allah pada manusia agar hati
dan akalnya senantiasa dimanfaatkan dalam segala hal dan digunakan untuk
memikirkan permasalahan intelektual. Al Qur’an menunjukan kelengkapan ajaran
dan misi yang diperuntukan bagi manusia, sehingga Allah berkenan menurunkan
sejarah kenabian dan kerasulan di dalamnya, berikut dengan konsekuensi
penerimaan dan penolakannya.
Semua
nabi menyampaikan ajaran tauhid tanpa pemaksaan,7 namun dengan penyampaian, pengajaran dan
peringatan, serta memberikan janji tentang kesucian diri kepada manusia.
Keyakinan akan bimbingan oleh para nabi disebut dengan doktri kenabian.
Kenabian ini amat penting karena dalam kenyataan hidupnya, manusia ternyata
tidak senantiasa mampu menjaga dan mengembangkan jati diri untuk kembali kepada
fitrahnya secara mandiri, bahkan tidak jarang manusia tenggelam dalam noda dan
dosa serta kekafiran.
Penyampai risalah yang memiliki
otoritas sebagai uswatun hasanah,8 harus menyampaikan risalahnya kepada manusia
secara langsung agar dapat dipraktekkan di kehidupan manusia. Perilaku
kehidupan manusia yang diridhoi Allah SWT diajarkan oleh Islam dalam konsep
kesaksian syahadah rasulnya. Maka kedudukan nabi, rasul dan Muhammad sebagai
penutupnya tidak cuma penyampai risalah dan menjadi uswatun hasanah, akan
tetapi juga sebagai acuan dan sumber syari’ah setelah wahyu.9
Pada realitas sosial, selain
mengajarkan risalah, setiap rasul terutama Muhammad SAW juga memimpin dan
mendidik umatnya, dan dalam keadaan tertentu juga menjadi panglima perang.
Kehadiran dan peran ini memiliki kesamaan misi, yakni menyelamatkan dan
membebaskan manusia dari kehancuran dan dari api neraka, serta mengajaknya pada
kehidupan yang sejahtera dunia akhirat. Kompleksitas peran dan kedudukan nabi
menunjukkan bahwa persoalan agama bukanlah sebatas rohani, spiritual, etika dan
keakhiratan belaka, tetapi meliputi semua kehidupan manusia.
Salah satu misi adalah untuk
mengembangkan “kejatidirian” manusia dengan benar, terletak pada pandangan dan
penjelasan Al Qur’an tentang alam semesta. Menurut Al Qur’an, keberadaan alam
semesta juga karena diciptakan. Proses penciptaan itu sendiri berjalan secara
evolutif dalam enam masa.10 Alam diciptakan Allah
SWT dalam keadaan seimbang dan tanpa cacat.11 Alam semesta secara pasif adalah muslim.12 Keberadaannya sebagai bukti kekuasaan dan
keberadaan Allah SWT. Karena itu manusia jangan terperosok ke dalam penyembahan
terhadap alam, dan melupakan Tuhan karena interaksinya yang keliru terhadap
alam.
Alam semesta ini diciptakan Allah
SWT untuk manusia dan menjadi pelajaran baginya. Manusia berhak mengelola dan
memanfaatkannya guna memenuhi kebutuhan dan untuk mencapai tujuan hidupnya.
Tetapi sebaiknya, manusia dilarang meng-eksploitasi dan merusaknya sehingga
segala akibatnya akan diderita oleh manusia.13 Agar manusia dapat memperoleh pelajaran, maka
alam juga dilengkapi dengan ukuran atau qadar14 dan hukum-hukum tertentu yang disebut sunnatullah.
Sunnatullah pada alam semesta bersifat tetap, dapat diamati dan dipelajari
oleh manusia.15
Oleh
karena itu jika manusia secara serius mau memperhatikan alam dengan mengi-kuti
petunjuk kitab suci dan nabinya serta mendayagunakan secara maksimal akal
budinya maka ia akan dapat memperkirakan perjalanan alam dan selanjutnya
menguasainya secara proporsional. Dari sinilah sejarah hidup manusia dan masa
depannya diuji Apakah dengan diturunkannya risalah universal itu manusia dengan
sadar mengikutinya yang berarti muslim atau menempuh jalan lain yang berarti
kafir atau munafiq.
Setiap pilihan manusia membawa
konsekuensi di dunia maupun di akherat.
Konsekuensi di akherat akan menjadi tanggungan bagi dirinya sendiri.
Suatu masa ketika setiap manusia harus mempertanggungjawabkan seluruh amal
perbuatannya disebut hari kiamat atau hari pembalasan. Pada hari itu semua amal manusia akan dihisab
atau dihitung dan ditimbang baik dan buruknya. Akhirnya, sebagai konsekuensi
amal perbuatannya, apabila kebajikannya lebih banyak, akan menjadi ahli surga
atau sebaliknya menjadi ahli neraka.
Sistem keyakinan merupakan konsepsi yang menjiwai cara pandang
tentang pengetahuan (ma’rifah), cara pandang tentang manusia, cara
pandang tentang kemasyarakatan, cara pandang tentang alam semesta, dan cara
pandang tentang akhir kehidupan manusia. Bagian berikut dari bab ini nantinya
akan menguraikan secara lebih lengkap mengenai cara pandang HMI tentang
keilmuan hingga cara pandang tentang
keakhiratan yang dijiwai oleh sebuah sistem yang diyakini bersama yaitu sistem
keyakinan Tauhid.
2.
Wawasan Ilmu
Manusia
merupakan makhluk Allah yang memiliki sturuktur ciptaan paling sempurna16 dari pada makhluk–makhluk lainnya. Ia hadir di atas dunia (diciptakan oleh
Allah) dengan tujuan tunggal, yakni beribadah kepada Allah SWT. Meskipun
memiliki kesempurnaan struktur, tetapi awalnya manusia lahir dalam keadaan
tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu apapun.17 Kemudian Allah memberi alat untuk memperoleh
pengetahuan berupa fuad (hati dan akal), pendengaran dan penglihatan
(panca indera).18 Maksudnya agar kita kembali pada tujuan
diciptakannya, yakni beribadah dan bersyukur kepada Allah SWT.
Allah telah mengaruniakan potensi
pada diri manusia untuk memperoleh pengetahuan lewat kenyataan diri dan alam.
Allah telah mengajarkan pengetahuan lewat kenyataan diri dan alam. Allah telah
mengajarkan pengetahuan lewat kenyataan diri manusia sendiri dan kejadian alam,19 yang
kemudian dapat menjadi pengetahuan alam dan pengetahuan tentang manusia. Dalam
dua pengetahuan ini berlakulah sunnatullah, baik fisik maupun non fisik yang
sejak semula diciptakan sampai hari akhir tanpa perubahan sedikitpun.20
Terdapat perbedaan metode dalam
memahami kedua sunnatullah tersebut, dari segi instrumen dalam diri manusia dan
sumber pijakan pengetahuan. Pada pengetahuan alam fisik, Al Qur’an menjelaskan
secara garis besar tentang bagaimana teori dan hukum alam dapat dipahami. Alam
fisik adalah objek pengetahuan yang sifat- sifatnya relatif tetap (kontinu dan
konsisten). Akibatnya proses dan instrumen memperoleh pengetahuan ini cukup
dengan pencerahan intelektual secara sungguh-sungguh apapun keyakinan dan
pandangan hidupnya,21 hasilnya akan sama
sepanjang konsisten dengan sunnatullah. Keberhasilan memperoleh pengetahuan
pada tingkat ini karena alam fisik memiliki tingkat objektivitas tertentu.22 Tugas manusia adalah untuk memikirkannya sampai menemukan hukum alam
(sunnatullah) yang tepat dan benar.
Misalnya, masalah turunnya air, peristiwa siang dan malam, matahari dan
bulan, laut yang mengeluarkan daging segar dan perhiasan untuk manusia dan sebagainya.23
Tetapi dalam pemanfaatan atau
penerapan hasil pengetahuan alam dalam bentuk teknologi ini tidak lagi bebas
nilai, tidak hanya dengan pemikiran bebas (rasional), tetapi ditentukan oleh
keyakinan, pandangan hidup, teori dan strategi perbaikan masyarakat pemakainya.
Pemakaian teknologi yang berangkat dari pandangan ‘manusia sebagai pusat
kehidupan” tentu berbeda dengan yang berpijak dari pandangan “Allah sebagai
pusat kehidupan” baik dalam strategi, pendekatan kebijakan maupun dampaknya. Bagi yang berpandangan “Allah pusat
kehidupan” akan memulai tahap penelitiannya dengan motif beribadah kepada Allah
SWT.24
Al Qur’an merupakan sumber nilai
yang mampu berdialog dengan seluruh problem kehidupan manusia, sehingga banyak
ayat Al Qur’an meminta perhatian manusia agar hati dan akalnya senantiasa
dimanfaatkan dalam segala hal. Hal ini
karena manusia memiliki fuad (hati dan akal) serta panca indra yang melahirkan
keyakinan, perasaan, pandangan hidup, pikiran dan lingkungan pergaulan. Maka,
manusia akan memperoleh kebenaran jika cara berfikirnya diletakkan di bawah
iman dengan Al Qur’an sebagai informasi awal pengetahuan25.
Salah
satu sunnatullah yang berlaku dalam kehidupan masyarakat (menurut al-Qur’an)
adalah bahwa masyarakat akan mengalami kejayaan (mencapai puncak peradaban)
jika mayarakat tersebut mengikuti “dienul Islam” yang sejalan dengan fitrah
manusia, memiliki kesadaran akan hakikat keberadaan dirinya akan dirinya dimata
Allah, dan memperjuangkannya dengan kesungguhan.26 Masyarakat akan hancur jika mengikuti hawa
nafsu dengan menjadikan dirinya sebagai sumber nilai dan tujuan kehidupan.
Karena hawa nafsu menyuruh manusia berbuat kejahatan.27 Oleh karena itu masyarakat yang hanya
mengikuti hawa nafsu, keinginan tak terbatas untuk menjadikan manusia sebagai
pusat orientasi kehidupan, termasuk ciri utama masyarakat yang dzalim.28
Dalam perspektif sejarah,
masyarakat yang dzalim pasti mengalami kehancuran. Proses kehancurannya
ditandai dengan krisis keyakinan dan moral serta munculnya pemuka masyarakat,
baik dalam kekuasaan, kekayaan maupun ilmu pengetahuan dan teknologi, yang
memimpin dengan melampaui batas, dan baru kemudian lahir generasi pengganti
sebagai pemimpin (khalifah) yang juga masih akan diuji bagaimana cara kerja
mereka.29
Adapun jenis pengetahuan yang lain
merupakan ikhtiar manusia dalam memahami Tuhannya. Hal itu tidak mungkin
dicapai kecuali memahami sifat-sifat-Nya melalui al-Qur’an dan sunnah
rasul. Jika semata- mata manusia
mendasarkan rasio, niscaya tidak mungkin mencapai pengetahuan tentang Tuhan
yang sebenarnya, bahkan tersesat jauh dari kebenaran.30
Penerimaan manusia terhadap
otoritas al Qur’an dan sunnah rasul sebagai referensi akan memberikan bekal
bagi akal untuk proses pemerkayaan dan pembentukan pola berfikir yang Islami.
Hal ini terjadi karena Al-Qur’an memiliki keragaman tema pembahasan terhadap
berbagai masalah, alur logika, semangat dan metodologi yang komprehensif. Dalam
kerangka referensi inilah, manusia mempunyai peluang untuk berhasil
mengantisipasi problematika kehidupan, keilmuan serta memastikan bentuk
epistemologinya secara komprehensif pula, berdasarkan prinsip-prinsip tauhid.
Satu pihak, ilmu merupakan
rangkaian kegiatan progresif yang dilakukan dengan sistem dan metode tertentu
melalui usaha akal budi dalam memahami Tuhan, manusia dan alam. Dilain pihak, tujuan ilmu adalah kebenaran, dimana sumber nilai
kebenaran asasi dan hakiki adalah Al Qur’an dan As-sunnah. Maka pandangan tentang Tuhan,
manusia dan alam harus bertitik tolak dari Dien al-Islam dalam prinsip-prinsip
Tauhid. Ilmu hanya untuk mencapai kebahagian dunia akherat, sehingga semakin
tinggi ilmu manusia, meninggi pula tingkat ketaqwaannya. Merekalah yang derajat
dan kemuliaannya ditinggikan di sisi Allah.
Akibatnya
struktur ilmu dalam pandangan Islam secara epistemik berbeda dengan ilmu atau
(sains) yang dibangun berdasarkan ideologi non Islam. Pada perspektif Islam,
ilmu dibangun atas dasar keyakinan tauhidi, kemudian diturunkan dan
dikembangkan berbagai asumsi teori dasar, penalaran ilmiah, disiplin ilmu dan
teknologi. Sedangkan khasanah kon-vensional, ilmu tidak dibangun berdasarkan
keyakinan agamawi, bahkan terpisah sama sekali.
Perbedaan itu membawa implikasi
besar. Pada khasanah konvensional, ilmu biasanya diferivikasi (di-tashih)
hanya sebatas empirik dan logis saja. Akibatnya hal-hal yang tidak dapat
diferivikasi secara empiris dan logis, dianggap di luar kategori ilmiah.
Sedangkan dalam pandangan Islam untuk memferivikasi atau mentashih, tidak hanya
bersifat empirik dan logis tetapi juga normatif, yakni berdasarkan al-Qur’an
dan as sunnah. Akhirnya banyak hal-hal keilmuan yang tidak dapat diferivikasi
secara empirik dan logis, dapat diferivikasi secara langsung berdasarkan al
Qur’an dan as sunnah.
Islam menyatakan bahwa ilmu
merupakan kesatuan pengetahuan tentang Tuhan, alam dan manusia, sehingga
melahirkan spektrum yang sangat luas yaitu Tauhid, kealaman, dan sosial yang
kemudian melahirkan cabang-cabang ilmu lainnya. Pada pandangan umum, ilmu terbagi
menjadi ilmu agama, sosial dan alam. Kategori ini secara filosofis sekuler,
karena agama adalah urusan akherat atau pribadi saja, tidak merangkum seluruh
ke-nyataan sosial. Sedangkan ilmu sosial dan alam adalah urusan dunia yang
terlepas dari kehi-dupan beragama. Padahal alam semesta ini sebuah kesatuan
yang membentuk ilmu dalam satu kesatuan pula, dimana cabang-cabang ilmu harus
dilihat sebagai hubungan yang saling bergantung.
Akhir kata kesemuanya mengacu
pada kata kunci bahwa Allah sebagai sumber kebenaran, memerintahkan manusia
mempelajari alam dengan segala petunjukNya. Namun untuk memahaminya, manusia
harus belajar dengan akal budi. Manusia akan mencapai puncak perkembangan diri
dan masyarakatnya melalui landasan iman yang kuat dan disertai dengan penguasaan
ilmu pengetahuan dalam perspektif Al Qur’an dan As sunnah. Dengan demikian
Kesesatan pencarian kebenaranpun akan berakhir.
2.
Wawasan
Sosial
Tiap-tiap sistem keyakinan atau derivasinya memiliki
cara pandang tentang dimensi private dan publik manusia yang
berbeda-beda. Ada yang meyakini bahwa
aspek individu manusialah yang utama (primer). Anggapan ini menyebabkan
munculnya keserakahan seorang atau sekelompok orang yang berujung pada
eksploitasi atas orang lain. Di sisi lain, ada keyakinan yang menekankan
keutamaan aspek sosial. Pandangan ini menyebabkan diabaikannya kepentingan
pribadi (individu). Bahkan keyakinan ini menyebabkan kediktatoran sebagai cara
paling mudah untuk menekan keinginan individual manusia. Kedua cara pandang ini
merupakan filsafat sosial yang mengingkari sebagian unsur kemanusiaan atas
unsur lainnya.
Islam menolak kedua anggapan tersebut di atas. Selain itu, Islam
juga menolak bahwa manusia bermasyarakat karena terpaksa oleh kenyataan bahwa
manusia tak dapat hidup tanpa bantuan orang lain.34 Demikian juga Islam menolak anggapan bahwa
manusia bermasyarakat untuk membangun kerja sama antara individu sehingga lebih
produktif.35 Cara pandang tentang nilai kemasyarakatan yang
dipaksakan oleh kelemahan manusia maupun pilihan manusia untuk bekerja
sama agar lebih produktif akan
menumbuhkan potensi kesombongan bagi manusia yang beroleh sejumlah kelebihan
individual, baik dalam berupa kekayaan, kekuasaan, status sosial dan tingkat pendidikan.36
Islam memandang bahwa kemasyarakatan merupakan ciri kemanusiaan yang
tak dapat dipisahkan dari kepribadian manusia. Karakter dan jiwa kemasyarakatan
bukan sesuatu yang baru tumbuh setelah manusia berinteraksi dengan orang lain,
melainkan sudah ada sejak manusia diciptakan.37 Dengan
demikian, Islam memandang bahwa seorang manusia memiliki hak-hak pribadi yang
harus dihormati. Individu yang bersangkutan juga bertanggung jawab untuk
memenuhi kepentingannya, baik yang bersifat material untuk kebahagiaan di dunia
hingga yang menyangkut keselamatan dan kebahagiaannya di akhirat. Namun, pada
saat yang sama manusia bertanggung jawab mewujudkan kepentingan bersama.
Masyarakat dalam pandangan Islam memiliki jiwa sebagaimana individu
memiliki jiwa juga. Perbedaan jiwa kemasyarakatanlah yang membuat suatu
perbadaan antara kaum yang satu dengan kaum yang lain. Jiwa kemasyarakatan yang
lemah akan menyebabkan lemahnya sistem kehidupan dan hilangnya kehormatan warga
masyarakat atau suatu kaum. Problematika ini
dikenal dengan kematian sosial38 yang selalu diawali dengan munculnya penyakit-penyakit sosial. Tiap
anggota masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga kehormatan dan harga diri
masyarakatnya sehingga terhindar dari kematian sosial.
Kematian sosial biasanya dimulai dan ditandai oleh sebuah sikap
saling tidak peduli satu dengan yang lainnya yang kemudian menjadi suatu
kewajaran dalam sistem masyarakat. Inilah awal kematian sosial. Sikap saling
tidak peduli akan memperbanyak orang yang menindas diantara sesamanya. Pada
awalnya penindasan cuma sebuah noktah ditengah lautan, namun ketidakpedulian
membuatnya menjadi samudera kehidupan, ketidakpedulaian membuat penindasan
menjadi sistem masyarakat. Tak ada lagi yang mampu mencegahnya kecuali
kehancuran masyarakat itu sendiri. 39
Allah SWT mengecam sikap-sikap yang
melemahkan jiwa kemasyarakatan. Sikap seperti ini dsetarakan dengan
“kemurtadan”. Allah SWT akan menghapus kehormatan, bahkan eksistensi suatu
masyarakat itu lalu menggantikannya dengan kaum yang baru. Kaum baru ini adalah
kaum yang dicintai dan mencintai Allah SWT, bersikap lemah lembut terhadap
orang beriman, bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, berjihad dijalan
Allah dan tidak takut terhadap celaan para pencela. 40
Kaum baru ini memiliki jiwa yang kuat, memiliki inspirasi sosial untuk
melahirkan karya peradaban. Kaum baru ini adalah kaum yang hidup atas dasar
konsep tauhid yang hanya dapat dikembangkan oleh diri-diri yang bertaqwa. 41 Inilah yang disebut dengan masyarakat yang
“hidup”. Masyarakat ini tidak memiliki penyakit sosial yang bernama
ketidakpedulian diantara sesamanya. Sikap saling menjaga akan mencegah
penindasan meluas karya peradaban umat terus terlahirkan.
Konsepsi mengenai masyarakat diatas
tak dapat lepas dari konsepsi tentang manusia. Kegagalan dalam memahami manusia
akan menyebabkan kegagalan yang sama dalam memahami masyarakat, serta
kekeliruan dalam memperlakukannya. Manusia merupakan puncak kesempurnaan
penciptaan. Di antara seluruh makhluk, manusialah yang dianugerahi keutamaan
untuk memiliki “unsur ilahiyah” yakni perwujudan ruh Tuhan,42 yang kelak akan menjadi modal baginya untuk
berakhlak berdasarkan sifat-sifat Tuhan.
Manusia tidak dapat diukur hanya dari
sisi materialnya seperti anggapan kaum materialis, demikian juga tidak hanya
dari sisi non-materialnya seperti anggapan kaum batiniyah. Itu sebabnya,
manusia disebut sebagai sebaik-baik ciptaan.43 Manusia memiliki kehendak bebas dan
kemerdekaan memilih dalam rangka menentukan nasib masa depannya. Allah SWT
mengaruniakan kesanggupan merancang sejarah masa depannya hingga hari akhir
saat menghadapkan dirinya pada hari pembalasan. Pada fitrah sebaik-baiknya
ciptaan ini bukan berarti manusia adalah makhluk super dan bukan pula penguasa
yang berhak mengeksploitasi makhluk lainnya.44 Hal
ini Karena konsep kemanusiaan bukanlah penegasian makhluk lain. Sehingga
kematian satu makhluk merupakan kematian sebagian sisi manusia itu sendiri.
Pada sebaik-baiknya ciptaan
tersebut pula, Allah SWT menciptakan manusia dan alamnya dengan
karakter-karakter yang mandiri, dan tak satupun yang persis serupa adanya.
Akibatnya dalam interaksi akan selalu ditemui keberagaman. Kenyataan
keberagaman manusia, dari individu, suku, bangsa atau kaum merupakan kehendak
bijak Allah SWT untuk mendidik manusia membangun interaksi sosial dalam kerangka
ketaqwaan.
Sehingga
keberagaman bukanlah penghambat pembentukan masyarakat, melainkan justru
mendorong kehidupan bermasyarakat ke arah kesempurnaan. Sebab, adanya
keberagaman itu tidak akan menghalangi manusia untuk tetap tegak berpegang pada
prinsip hukum yang adil sekaligus benar pada interaksi masyarakatnya45.
Selain itu, Islam memandang bahwa sesama manusia memiliki kedudukan
hak dan kewajiban dihadapan Allah. Ini dikarenakan manusia menurut Islam,
dicipta dari bahan yang sama dalam fitrah yang sama, yakni tauhid, dan memiliki
tugas-tugas yang sama pula, yakni beribadah46. Maka, Islam tidak memandang penting perbedaan
status yang didasarkan pada etnis, geografis atau kelas sosial. Islam
berpandangan bahwa harkat kemanusiaan yang tertinggi dapat dicapai oleh manusia
karena ketaqwaannya, atau sejauh mana manusia memilih keyakinan dan sistem
nilai kehidupannya. 47
Pada konsep ini Islam mengenal
konsep masyarakat yang disebut dengan ummah. Istilah ummah secara
etimologis berarti ibu atau induk, tetapi secara sosiologis juga berarti
sebagai sistem sosial, sistem nilai dan etika dalam masyarakat secara mondial.48 Oleh karena itu bila istilah ummah ditetapkan untuk
umat Islam, maka secara teoritik, bukan saja menunjuk pada eksistensi masyarakat
muslim dengan dasar keyakinan individual dan pola peribadatan yang sama, tetapi
juga mencakup “sistem nilai” yang berlaku dalam sistem kemasyarakatan.
Sebagaimana arti etimologisnya;
”ibu”, Ummah memiliki salah satu peran ”mengasuh”. Mengasuh insan-insan yang
hadir dan berinteraksi didalamnya. Keberadaan Ummah adalah keselamatan bagi
insan-insan tersebut. Asuhan yang diberikan akan mewarnai dan membentuk hidup
dan kehidupan insan-insan tersebut. Oleh sebab itu peran sebagai pengasuh
inilah yang akan ikut menentukan bagaimana bentuk-bentuk manusia yang ada dalam
lingkaran ummah tersebut. Oleh sebab itu pada konsep ummah sistem sosial yang
berjalan adalah sistem yang saling menjaga keselamatan sesama manusia.49 Masyarakat yang tidak memiliki sistem saling
menjaga, sistem yang tidak mampu mencegah kehancuran insan-insan didalamnya,
bukanlah realitas konsep masyarakat yang dimaksud dalam ”Ummah”. Karena pada
wilayah sosiologis bentuk asuhan yang terefleksi dari sistem sosial turut
berperan dalam membentuk tingkat keimanan manusia dihadapan sang khaliknya.50
3. Kepemimpinan
Bagi
Islam hubungan antara individu dengan masyarakat serta pola-pola interaksinya
bukanlah hubungan antara individu dan masyarakat yang saling bertentangan,
saling menindas, bahkan eksploitatif.51 Islam
memandang bahwa hubungan individu dan masyarakat adalah koheren, kohesif dan
komplementatif. Islam menyatakan bahwa individu dan masyarakat telah terikat
dalam sisitem nilai yang sama, memiliki otentasi dalam misi yang sama melalui
pola kerja yang beragam. Sehingga dalam Islam sesama muslim adalah saudara.52 Kehadiran seorang muslim bagi seluruh manusia
dan sekalian alam adalah rahmat, bukan bencana.
Sifat rahmatan lil alamin tersebut
bukanlah sesuatu yang hadir tiba-tiba, namun harus melalui proses yang terus
dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai makhluk komunal manusia dituntut untuk
membuat kesepakatan-kesepakatan di antara sesamanya.53 Kesepakatan ini lahir agar interaksi sesama
manusia dan interaksi dengan alam tidak bersifat merusak namun bersifat
menjaga.
Manusia merupakan satu-satunya
makhluk yang berani untuk memulai sikap saling menjaga, yang pada akhirnya
menjadikannya sebagai makhluk yang memimpin makhluk lainnya di alam semesta
ini. Makhluk lainnya menolak peran ini54, karena peran ini menuntut sebuah
konsekuensi. Konsekuensi di mana makhluk yang menjadi pemimpin (khalifah) harus
bisa menjaga dirinya sendiri dari kehancuran dan membawa konsekuensi menjaga
makhluk lainnya agar terhindar dari kepunahan. Kehancuran dan kepunahan dalam
proses alam semesta merupakan sebuah kepastian yang tidak dapat ditolak dalam
siklus alam semesta.
Penobatan manusia menjadi khalifah
dilengkapi dengan fungsi kepemilikannya akan ilmu yang diberikan Allah SWT,
yang secara potensial dapat didayagunakan untuk mengatur dan mengelola alam
semesta. Inilah yang menjadi pembeda hakiki antara manusia dengan makhluk
lainnya, sehingga kekhalifahan menjadi hak dan sekaligus tangungjawab manusia. 55
Istilah khalifah secara etimologis
berarti wakil dan dalam pengertian risalah islam berarti wakil Allah dimuka
bumi, yang berkewajiban memakmurkan bumi sesuai dengan kehendak dan ajaran-NYA.
Disamping khalifah, istilah lain yang hampir sama adalah imamah. Imam secara
etimologis berarti pemimpin dan dalam pengertian Islam berarti pemimpin ummah yang berkewajiban mengurus
kepentingan dan berbagai aspek kehidupan umat Islam. Sistem kekhalifahan atau
immah merupakan kekayaan historis yang pernah berlaku didunia Islam, sedangkan
dalam penentuan formatnya di masa mendatang sangat ditentukan oleh kualitas
Ijtihad dari setiap generasi dalam menghadapi permasalahan-permasalahan
kondisional.
Pada konteks masyarakat,
kepemimpinan (khalifah atau imam) merupakan sebuah kepercayaan satu individu
atau lebih kepada individu lainnya. Dengan demikian perlakuan hidup yang
diberikan seorang yang dipercaya diharapkan tidak merugikan individu yang
memberi kepercayaan. Kondisi ini diesbut dengan ”kondisi berkeadilan” Oleh
sebab itu kualitas kepemimpinan dalam masyarakat diukur dalam tingkat keadilan
yang mampu diciptakan.56 Untuk mencapainya,
manusia dalam bermasyarakat dapat menciptakan sistem kepemimpinan yang membawa
keadilan. Selama sistem tersebut memberikan keadilan bagi manusia dan tidak
mempercepat kehancuran bagi makhluk lainnya maka sistem itu dapat
dipertahankan. Tetapi tak ada sistem kepemimpinan yang secara ideal mampu
menciptakan keadilan yang ideal pula selain kerasulan yang diturunkan oleh
Allah SWT. Maka sistem kepemimpinan dapat berubah sepanjang waktu sesuai dengan
kesepakatan sesama manusia yang menjalankannya.
Sistem kepemimpinan yang pasti
berubah untuk perbaikan secara terus menerus mengakibatkan sesama manusia tidak
boleh menghambat proses perbaikan tersebut. Proses perbaikan akan terhambat
ketika ada sikap dominasi mutlak satu manusia terhadap manusia lainnya. Sikap
ini tentu akan bermuara pada terciptanya kondisi kezaliman. Dalam menghadapi
dominasi mutlak tersebut, Islam mengajarkan manusia untuk ber-amar ma’ruf
nahi mungkar. Pada konsep ini umat Islam dituntut untuk selalu memberi
peringatan kepada siapapun yang melakukan kedzaliman.57 Bagi kaum yang terdzalimi atau kaum
mustadh’afin Islam mengajarkan untuk membela haknya dengan menegakkan sistem
hukum yang menjamin tegaknya keadilan dan kebenaran.58
Oleh
sebab itu Islam memandang bahwa kepemimpinan bukanlah untuk diperebutkan tetapi
merupakan alat bagi manusia untuk membangun tatatan masyarakat yang diridhai
Allah SWT. Islam juga memandang bahwa tatanan masyarakat yang diridhoi oleh
Allah SWT didasarkan pada prinsip kepemilikan yang terpusat pada sang khalik.
Bahwasannya segala sesuatu di alam semesta ini dan limpahan kekayaan di
dalamnya adalah milik Allah SWT.59 Konsekuensinya
Islam menolak suatu pemilikan dan pengusaan harta oleh manusia secara mutlak.
Harta menurut Islam adalah amanah dari Allah, yang dalam penggunaannya harus
berdasarkan hukum yang ditetapkan Allah dan digunakan untuk beribadah
kepada-Nya.
Akibatnya sistem kepemimpinan juga
harus mampu menjamin adanya aturan atas pengakuan “hak milik” dengan pola
distribusinya. Salah satu aturannya adalah adanya hak sang fakir miskin. Sistem
kepemimpinan harus mampu menjamin pemenuhan hak bagi fakir-miskin dari harta
orang-orang kaya. Muaranya siste kepemimpinan mampu melahirkan interaksi
ekonomi yang tidak mengarah kepada akumulasi kekayaan disatu pihak yang
mengakibatkan penderitaan dipihak lainnya60.
Pada konteks Individu, Alqur’an
mengatur kualifikasi khalifah. Prinsip utama kualifikasinya adalah pada
tingkat keimanan sang makhluk. Sebagaimana diserukan oleh Allah SWT kepada
sekalian mu’min untuk taat kepada Allah SWT, dan rasul-NYA serta ulil
amri diantara para mu’min tersebut61. Berarti, secara tegas kepemimpinan
orang-orang yang ingkar ditolak. Prinsip ini sekaligus mengikat bai’at yang
seharusnya dilakukan setiap mu’min, untuk tidak memilih walinya dari
orang-orang yang membuat agama (Islam) menjadi buah permainan dan ejekan, yakni
dari kalangan ahli kitab dan orang-orang kafir62.
Kualifikasi berikutnya terletak
pada tingkat kearifan seseorang, baik dalam urusan syari’ah, ilmu
pengetahuan, politik dan aspek kehidupan lainnya. Karena itu seorang khalifah
atau imam, haruslah memiliki kualitas ulil al bab, dan mewarisi
sifat-sifat nabi, yakni berbudi pekerti yang agung.63 Keberadaan sistem kepemimpinan dalam
masyarakat juga harus mampu melahirkan sosok pemimpin yang berkualifikasi
tersebut diatas. Ketidakmampuan dalam melahirkan sosok pemimpin yang pantas
akan berimbas pada kehancuran masyarakat itu sendiri.64 Mulai dari jiwanya sampai dengan peradabannya.
Tentu saja individu-individu yang
mukmin yang dapat memenuhi kualifikasi itu. Karena ia akan mampu
mempertanggungjawabkan perannya sebagai khalifah dalam konteks dirinya dan
dalam konteks lingkungannya dihadapan Allah SWT. Meluasnya tanggungjawab
kepemimpinan ini juga mengakibatkan bertambahnya tanggungjawab yang harus
dipikul seorang umat yang beriman dihadapan Allah SWT. Ia tidak hanya akan
ditanya bagaimana ia menghidupi dirinya namun juga ditanya bagaimana ia
menghidupi umat yang dipimpinnya.65 Pertanggungjawaban ini mencerminkan bahwa
pemimpin lebih memiliki kemungkinan lebih besar untuk terjerumus kedalam neraka
jahanam kelak, sehingga menjaga pemimpin-pemimpin yang telah kita beri amanah
menjadi kewajiban mutlak bagi tiap manusia.
Kepemimpinan Islam sebagai
instrumen kelembagaan, dalam kenyatannya, mempunyai tugas yang sama dengan
tugas-tugas setiap mu’min yakni amar ma’ruf nahi munkar.66 Dengan demikian, antara intitusi kekhalifahan
dengan individu-individu mu’min adalah koheren dalam mengemban
tugas-tugas keumatan. Oleh karena itu keberadaan kepemimpinan Islam, bagi
umatnya merupakan interpedensi dan koeksistensi. Hal ini menjadi
citra utama keberadaan jama’ah dan kekhalifahan Islam yang par
excelent sempurna, yang termanifestasikan pada masa nabi muhammad SAW.
Demikian juga seharusnya bagi umat Islam dewasa ini sebagai bukti ketaatan kepada Allah SWT dan
Rasul-Nya.
5. Etos
Perjuangan
Perubahan tatanan masyarakat yang berdasarkan
nilai-nilai Islam bukanlah suatu janji Allah SWT yang diberikan begitu saja
kepada ummat manusia tanpa ada proses pembentukan46. Proses pembentukannyapun menuntut
adanya keterlibatan manusia didalamnya. Tuntutan akan keterlibatan manusia
dalam proses pembentukan masyarakat dikarenakan manusia diciptakan Allah SWT
sebagai khalifah dimuka bumi, sehingga ia memiliki peran mengatur dan penentu
bentuk tatanan masyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT.
Manusia dalam menjalankan perannya sebagai
khalifah tidak dengan berdiam diri dan melihat perubahan tatanan dan lingkungan
masyarakatnya berjalan dengan sendirinya. Namun peran khalifah itu harus
dijalankan manusia dengan berusaha dan berjuang sepenuhnya untuk pembentukan
tatanan masyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT dan tentunya tatanan itu
berjalan dengan dasar nilai-nilai Islam yang berlaku didalamnya47.
Oleh sebab itu semangat untuk berjuang (etos
perjuangan) menjadi penting untuk dimiliki oleh seorang insan yang diciptakan
sebagai khalifah dimuka bumi. Etos perjuangan menjadi bekal dalam berusaha dan
berjuang untuk perbaikan masyarakat di setiap waktu dan di setiap tempat.
Manusia yang memiliki etos perjuangan yang cukup kuat akan selalu sadar untuk
melihat realitas lingkungan sekitarnya dan melakukan perubahan serta perbaikan
atas kondisi lingkungannya terseut setiap saat. Melakukan perubahan dan
perbaikan setiap saat tanpa henti seperti ini dikarenakan kondisi lingkungan
masyarakat tidak pernah mencapai titik ideal yang diam dan statis.
Begitu juga dengan tatanan masyarakat yang
diyakini didasarkan oleh nilai-nilai Islam tidak akan pernah mencapai titik
kebenaran ideal sepanjang zaman. Oleh sebab itu Islam yang tidak mengenal
konsep kemapanan, akibatnya memunculkan tanggung-jawab tiap muslim untuk terus
berjuang menegakkan kebenaran tanpa ada kata henti dan titik akhir. Seorang
muslim akan melakukan perjuangan sejak ia lahir sampai ia dikuburkan mulai dari
lingkungan dirinya sampai pada masyarakat keseluruhan.
Etos perjuangan yang harus dimiliki tiap
muslim merupakan cerminan gerak iman seorang muslim tersebut. Iman tidak hanya
diukur atas berapa banyak shalat yang ia kerjakan, atau berapa banyak zakat
yang ia keluarkan atau berapa lama puasa yang ia lakukan dan berapa banyak
ibadah haji yang ia tunaikan Namun iman juga diukur dengan seberapa lama dan
seberapa kuat manusia berjuang mewujudkan kebenaran dalam masyarakat demi
kemaslahatan umat manusia. Keistiqomahan berjuang ini menjadi ukuran kemuliaan
iman karena menunjukan tingkat keyakinan diri manusia atas kebenaran keilahian
itu sendiri 48.
Pada intinya perjuangan dalam hidup seorang
muslim merupakan suatu proses peningkatan kualitas akan iman yang membentuk
jati diri muslim seutuhnya. Oleh sebab itu perjuangan pada seorang muslim harus
merupakan sebuah pilihan sadar atas dasar keimanan, bukan sebuah tuntutan yang
lahir dari luar dirinya. Dikatakan sebagai pilihan sadar jika ia telah memenuhi
dua syarat yaitu “berkehendak dan terlibat”. Ini artinya seseorang tidak dapat
mengaku berjuang atas dasar pilihan sadar dari dirinya sendiri jika dalam
memulai perjuangannya dilakukan atas dasar perintah atau paksaan orang lain
(bukan kehendak diri). Seseorang juga tidak dapat mengaku berjuang atas dasar
pilihan sadar dari dirinya sendiri jika selama perjuangan tersebut berjalan ia
tidak secara langsung terlibat dalam aktifitas perjuangan itu.
Selain kesadaran akan pilihan, seorang muslim
dikatakan berjuang jika ia juga sadar akan resiko dan prestasi yang akan ia peroleh. Sehingga tidak ada perjuangan
yang berjalan secara buta tanpa melihat apa yang akan ditemui di medan juang 49. Dengan
demikian seorang muslim yang berjuang tidak mengalami keterkejutan dan
kegagapan yang muncul ditengah perjalanan perjuangannya. Seorang muslim harus
melakukan taksiran-taksiran atas apa yang akan ia hadapi dalam rentang waktu
perjuangannya. Ini akan menciptakan sikap diri yang tidak pernah terjerumus
dalam kesedihan akan kegagalan dan tidak pernah terbuai dalam kegembiraan akan
keberhasilan. Keterjebakan pada kesedihan pada saat gagal dan pada saat
berhasil cuma akan membuat seseorang lupa diri 50. Lupa diri selalu membuat perjuangan
berhenti pada satu titik kegagalan atau pada satu titik keberhasilan.
Sebagai suatu ukuran keimanan yang paling terpenting
dalam etos perjuangan adalah bagaimana seorang muslim dapat mempertahankan
imannya dengan tetap berjuang setiap saat (istiqomah). Keberhasilan suatu
perjuangan bukanlah titik kemuliaan keimanan dari seorang muslim. Kegagalan
juga bukan merupakan titik kehinaan dalam keimanan seorang muslim. Namun
istiqomahlah yang menentukan apakah keimanan seorang muslim itu merupakan iman
yang sebenar-benarnya atau iman yang sebatas pengakuan tanpa implementasi.
Oleh sebab itu perjuangan bagi seorang muslim
yang diutamakan bukan bagaimana ia mencapai keberhasilan dan menghindari
kegagalan, namun yang diutamakan adalah bagaimana ia dapat bertahan untuk terus
berjuang 51.
Keberhasilan dalam perjuangan hanya sebuah taksiran-taksiran perjuangan yang
memperlihatkan bahwa sebuah perjuangan telah mencapai satu titik tertentu dan
harus dilanjutkan pada titik berikutnya. Kegagalan dalam perjuangan merupakan
peringatan atas kesalahan yang terjadi dalam perjuangan sehingga dituntut
adanya perbaikan dimasa mendatang 52.
Kemuliaan perjuangan yang paling tinggi akan
terbentuk pada tingkat perjuangan dalam bentuk “jihad”. Jihad secara etimologis
berarti sungguh-sungguh. Pada jihad seorang muslim akan memakai seluruh potensi
yang ia miliki secara fisik maupun secara non fisik untuk menjalankan
perjuangannya 53.
Jihad dalam konsepsi Islam merupakan sebuah titik kesempurnaan dan kemuliaan
iman seorang muslim dalam kehidupannya54. Perjuangan jihad fi sabililah
yang bertujuan akhir menegakkan cita-cita Islam ini dijalankan dengan misi penyadaran dan petunjuk sebagaimana
esensi ajaran Islam itu sendiri.
Al
Qur’an tidak memberikan ekuivalensi jihad dengan qital atau perang.
Perintah Jihad-pin hadir sebelum perintah perang (qital) turun Ini berarti.
Namun Jihad lebih menggambarkan kewajiban individu dalam berjuang secara
sungguh-sungguh di garis Islam pada titik kemuliaannya dimana dia harus
mengorbankan segala sesuatu yang ia miliki termasuk jiwa, raga dan lingkungannya. Keutuhan perjuangan itulah
yang merupakan pesan yang disampaikan Alqur’an bagi umatnya55.
Keutuhan bentuk
perjuangan tersebut dituntut untuk tetap dijaga dengan sikap diri yang bernama
“ikhlas”. Ikhlas mencerminkan suatu bentuk hubungan antara makhluk dan
khaliknya 56.
Oleh sebab itu ikhlas tidak dicerminkan oleh ucapan atau janji seorang manusia
kepada manusia lainnya melainkan dicerminkan dari konsistensi perjuangan dan
pengorbanan yang ia lakukan. Konsistensi ini tidak tergantung pada imbalan yang
ia terima dari sesama manusia. Bahkan berjihad dengan segala pengor-banannya
lebih sering mendapat celaan oleh manusia lainnya daripada imbalan57. Maka dari
itu ikhlas menjadi penyempurna atas perjuangan menegakkan kebenaran. Inilah
kunci bagi pejuang yang tidak akan lupa diri ketika menerima satu tahap
keberhasilan juga tidak akan tenggelam ketika mengalami kegagalan.
Orang yang berjihad kita kenal sebagai
mujahid. Tiap muslim dapat menjadi mujahid. Proses menjadi mujahid akan membuat
seorang muslim tahu apa arti sebuah kehidupan secara utuh dan tahu bagaimana ia
harus hidup dalam kehidupan tersebut 58. Ini merupakan titik kemulian seorang manusia
yang tidak akan pernah terseret oleh arus zaman namun selalu membentuk dan
melakukan perubahan zaman 59 . Ada beberapa ciri khas
yang dimiliki oleh seorang mujahid yaitu: saja’ah (berani), totalitas,
adil, jujur, amanah, sabar, tawadhu (rendah hati), pema’af dan istiqomah.
Berdasarkan
konsep yang diuraikan diatas, jihad mestinya meliputi pemahaman situasi
internal dan eksternal, sehingga langkah dan kebijakan yang diambil tidak sekedar
didasarkan pada peluang yang muncul dan menunggu kematangan situasi, melainkan
lebih merupakan upaya progresif untuk menciptakan peluang dan situasi yang
dapat menjadi instrumen konstruktif bagi perjuangan Islam 60.
6. Hari
Kemudian
Al Qur’an memperingatkan dan
memerintahkan manusia untuk berfikir terlebih dahulu sebelum bertindak agar
tidak menyesal dikemudian hari.61 Ditekankannya pula manusia dengan berbagai
peringatan dan ancaman, serta pada saat yang bersamaan digembirakannya dengan
janji-janji imbalan. Hari berbangkit dan pembalasan, surga dan neraka,
diungkapkan dengan cukup gamblang kepada manusia agar mereka mengerti, bahwa
apa saja yang mereka lakukan harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah. Namun
semua janji itu bukan untuk menjadikan manusia takut atas ancaman juga tidak
membuat manusia berharap imbalan di hari kemudian, namun agar sadar atas
pilihannya yang memiliki akibat di hari kemudian.
Hari kemudian atau akherat akan
menjadi masa pengadilan bagi umat manusia. Semua yang dilakukan manusia semasa
kehidupannya dimuka bumi akan dihisab. Hasil hisab inilah yang kemudian menjadi
bahan penilaian atas apa yang akan ia dapatkan dalam masa akherat kelak.
Artinya amal manusia di dunia inilah yang akan menentukan apa yang akan terjadi
pada dirinya di akherat kelak. Tak satupun perbuatan yang lepas dari
perhitungannya.
62 Tak satu perhitunganpun yang
tak mendapat balasannya. Masa pengadilan ini menjadi masa yang tak bisa
dihindari oleh satu umat manusiapun. Kekuasaan Allah SWT akan menunjukan bahwa
keadilan yang berjalan adalah keadilan yang tidak dapat dihindari oleh manusia,
bahkan hasilnya tak bisa dikompromikan seperti keadilan yang ada di dunia ini.
Kehidupan akherat yang merupakan
kehidupan “pasca sejarah” kemanusiaan juga menjadi logis dan amat adil,
mengingat keadilan tidak selalu terwujud dalam setiap saat bagi seseorang atau
suatu masyarakat di dunia. Pada kenyataannya bahkan amat banyak orang yang
didzalimi di muka bumi ini. Mereka yang berbuat dzalimpun tidak selalu sempat
mendapat ganjaran yang setimpal. 63 Bahkan
banyak orang yang berbuat kebathilan justru beroleh “ketenaran” dalam sejarah
dunia.
Islam sangat menekankan umatnya
yakin akan keberadaan akherat, karena dengan keyakinan ini umatnya tetap
berjalan dalam kehidupan yang berorientasi tujuan pada akherat. Al Qur’an juga
berulang kali menyatakan bahwa kehidupan yang sesungguhnya adalah di akherat.
Kehidupan manusia di dunia, diibaratkan permainan,64 atau sementara,65 serta jauh lebih rendah tingkatannya.66 Akan tetapi kehidupan dunia itu harus dilalui
manusia lengkap dengan cobaan dan ujian yang menjadi penentu kehidupan di
akherat. Segala sesuatu yang diperbuat ada imbalannya di akherat, sehingga
manusia tidak boleh berputus asa ketika menjalani beratnya kehidupan didunia.
Berputus asa adalah sikap ingkar atas ketetapan Allah akan akherat dan janji
Allah yang tidak membenani makhluknya melebihi kemampuannya.
Konsekuensinya kehidupan di
dunia bukanlah sesuatu yang harus ditinggalkan. Manusia harus berusaha
mendapatkan apa yang harus ia dapatkan, bahkan Allah memperkenankan manusia
untuk beroleh kebahagiaan darinya.67 Kebahagiaan itu sudah barang tentu menurut
tolak ukur ajaran Islam, bukan menurut materialisme atau faham-faham yang lain.
Betapapun, nabi Muhammad SAW mencontohkan beberapa hal yang secara manusiawi
dapat dianggap sebagai kesenangan, seperti halnya kecintaan kepada
keluarga.
Kenyataan tersebut menjadi penting
karena Islam memang tidak mengajarkan faham yang menuntut agar kehidupan
manusia selalu menderita di dunia untuk mencapai kebahagiaan di akherat. Islam
mengajarkan keharmonisan yang dinamis, dengan kehidupan akherat tetap sebagai
tujuan akhirnya. Ada kalanya orang-orang beriman menikmati keamanan dan
kesentosaan, namun tidak jarang harus menahan pahit getir perjuangan melawan
kedzaliman yang suatu saat lebih dominan di masyarakat. Manusia berhak
memperoleh keberhasilan atas perjuanganya namun ia tak bisa terhindar dari
kegagalan.
Pada kerangka
ini, manusia harus selalu siap berkorban, dengan harta dan bahkan juga dengan
nyawa sendiri. Manusia tidak perlu khawatir atas kuantitas dan kualitas
pengorbanan yang ia keluarkan di dunia fana ini. Hal ini dikarenakan
pengorbanan yang dilakukan manusia di dunia ini masih tetap teramat kecil bila
dibandingkan dengan rahmat dijanjikan oleh Allah SWT di akherat nanti. Manusia
juga harus tetap tabah dan sabar dalam menjalani hari-hari perjuangannnya di dunia fana ini karena waktu
dalam akherat adalah kekal yang membuat masa hidup yang kita jalani dengan
ketabahan dan kesabaran adalah masa yang sangat singkat dalam ukurannya.
Akherat akan dimulai dengan
munculnya hari akhir di dunia ini. Hari akhir merupakan akhir semua kehidupan
yang telah lama berjalan di muka bumi ini.68 Hari akhir ini juga menjadi akhir diterimanya
taubat manusia, sama halnya seperti sebuah momen yang menjadi batas hidup dan
mati bagi seorang insan. Hari akhir yang kita kenal dengan hari kiamat menjadi
sebuah penutup bagi kehidupan. Tak ada kehidupan yang berjalan tak ada lagi
amal baik atau amal buruk yang dicatat oleh malaikat.
Semua orang akan bertanya ”Apa
yang terjadi?”. Manusia bingung dan panik, berlari ketimur ke barat, ke
utara ke selatan mencari tempat perlindungan. Namun tak satu tempatpun yang
luput dari kejadian hari akhir. Manusia kemudian tersadar bahwa ini adalah
akhir kehidupan. Manusia kemudian tersadar akan kebenaran janji-janji Allah
SWT, walaupun selama ini manusia mengingkarinya. Manusia kemudian menangis
dalam penyesalan atas pengingkarannya.69
Adanya hari kiamat beserta rincian
kejadiannya dapat menjadi referensi dasar manusia dalam membangun orientasi
hidupnya.70 Al Qur’an telah menyebutkan tentang keragaman
orientasi hidup ini dengan penggambaran akan sifat-sifat manusia, serta
penyebutan masing-masing dengan istilah-istilah tertentu, baik untuk yang
tergolong yang beriman maupun yang ingkar. Setiap orientasi akan mempunyai
konsekuensi yang setimpal. Seringkali diungkapkan bahwa ada yang beruntung dan
ada yang celaka. Dan pada banyak kesempatan, selalu dinyatakan bahwa manusia
diberi kebebasan untuk memilih orientasi hidupnya, karena memang tidak ada
pemaksaan dalam Islam.
Di hari Kemudian manusia akan
bangkit menanti masa hisab yang diberlakukan atas dirinya.71 Tak ada perbedaan antara satu manusiapun
dengan manusia yang lain pada masa ini. Tak ada kemuliaan yang melebihi
kemuliaan manusia lain. Namun mereka semua berdiri dengan wajah amalnya semasa
hidupnya. Manusia akan sangat terlihat berbeda satu dengan yang lainnya akibat
perbedaan kualitas amal yang telah ia jalankan semasa hidupnya. Inilah titik
dimana manusia hadir dihari yang dijanjikan Allah, yaitu hari perhitungan
Secara imajinatif, berita
kedatangan hari pembalasan mengingatkan kita tentang adanya penyelesaian secara
tuntas atas konflik diantara manusia.72 Konflik
seperti ini biasanya yang berawal dari perbedaan pendapat. Walaupun perbedaan
pendapat diperkenankan dalam Islam ketika masih dalam kerangka orientasi hidup
yang sama, namun sering hal ini “dimanipulasi” oleh manusia dengan menyembunyikan
sesuatu benar dan menunjukan sesuatu yang salah. Di akherat, tak ada lagi yang
dapat disembunyikan.
Kenyataan ini akan membuat
sebagian manusia berkata: ”Ya Allah berikanlah diriku kesempatan sekali lagi
untuk memperbaiki amalku, hamba tidak tahan atas pembalasan yang menimpa hamba
ini”.73 Mereka terus memohon dan menangis dengan penuh
kenistaan. Mereka sangat-sangat menyesal karena tidak pernah menggunakan
lidahnya untuk menyeru kebaikan. Kedua tangan dan kakinyapun menggigil karena
selama ini digunakan untuk menindas orang lain.
Namun sebagian manusia merasa
bersuka cita. Bersuka cita karena hari-hari yang ditunggu telah datang.74 Hari hari dimana mereka akan bertemu secara
langsung dengan sang Khalik, Allah SWT. 75 Bagi sekelompok manusia ini pertemuan tersebut
merupakan pertemuan yang paling berharga dari keberadaan seoarang diri manusia.
Tak ada kenimatan dunia dan akhirat yang dapat melampaui pertemuan ini.
Pertemuan ini tak akan bisa tergantikan oleh apapun jua yang ada. Mereka inilah
orang-orang yang ikhlas, orang-orang yang tak mengharapkan janji-janji
hari akhir kecuali pertemuan dengan Allah SWT.
Catatan akhir
:
1.
Q.S. An-Najm 53:28 26. Ash
Shaff/ 61 : 11-12 51. Ali imran/ 3 : 200
Q.S. Al-Baqarah 2 : 170, 27. Yusuf/ 12 : 53 52. Al Imran/ 3 : 165
Al-Maidah 5 : 103
2.
Thaha/ 20
:14 28. Ar Ruum/ 30 : 29 53. Al Arraf/
7 : 179
Al Bayyinah/ 98 : 1-5 29.
Yunus/ 10 : 13-14 54. At Taubah/ 20 : 22
Al Hijr/ 15 : 9 30. Al An’am/ 6 : 56 55. Al Hujurat/
49 : 15
Ibrahim/ 14 : 1 31. Qaaf/ 50 : 6-8 56. Al Bayinah/ 98: 5
Al Baqarah/ 2 : 256 32. Al Mujadilah/58 : 9 57. Al
Maidah/ 5 : 54
Al Ahzab/ 33 : 21 33. Al Hujarat/ 49 : 13 58. Al
Baqarah/ 2 : 154
Al Hasyr/ 59 : 7 34. Adz Dzaariyat/ 51 : 86 59. Al Imran/ 3 : 104
Qaaf/ 50 : 38 35. Al Arraf/ 7 : 33 60. Al
Anam/ 6 : 135
Al Mulk/ 67 : 3-4 36. Al Hujarat/ 49 : 10 61. An Nisa/ 4 : 59
Ali Imron/ 3 : 33 37. Ali Imran/ 3 : 159 62. Al
Haqqah/ : 18
Ar Ruum/ 30 : 41 38. Al Ahzab/ 33 : 72 63. Az Zumar/ : 47
Yasin/ 36 : 38- 39 39. Al Anam/ 6 : 165 64. An Naba’/ 76 : 10
AL Fathur/ 35 : 43- 44 40. An Nahl/ 16 ; 90 65. Al Ankabut/
29 : 64
Al Isra’/ 17 : 70 41. Ali
Imran/ 3 : 104 66. Al Isra’/ 17 : 21
An Nahl/ 16 : 76 42. An Nahl/ 16 : 125-126 67. Al
Qashash/ 28 : 77
Al A’raf/ 7 : 179 43. Al Baqarah/ 2 : 282 68 Al
Mursalat/ 8-13
Fushilat/ 41 : 53 44. Al Hasyr/ 59 : 7 69. Al
Furqan/ 27
Al Ahzab/ 33 : 62 45. Al Imran/ 3 : 130 70. Al Haqqah/ : 13-16
Al Jaatsiyah/ 45 : 13 46. Ar Ra’ad/ 13;11 71. An Nisa/ : 87
Al An’am/ 6 : 73 47. At Taubah/ 9:71 72. Al Haqqah/ : 20
An Nahl/ 16 : 10-16 48. Almaidah/ 5 : 35 73. As Sajadah/ 10-12
Al An’am/ 6 : 162 49. An Nahl/ 16 : 43 74. Yaasin/ 55-58
3.
Ar Rahman/
55 : 1-4 50. Ar Rum/ 30 : 33-34 75. Al
Kahfi/ :11
BAB II
TUJUAN
Tauhid sebagai
hal paling esensial dalam ajaran Islam, merupakan titik berangkat utama dalam
setiap kegiatan manusia; pikiran, perasaan dan tindakannya. Tauhid menjiwai
gerakan manusia baik secara individu maupun sosial. Secara individu seseorang
akan dibimbing untuk membawa/memproses dirinya mendekati kesempurnaan Tuhan.
Sedangkan secara sosial, harga diri masyarakat ada pada kemajuan masa depannya,
terutama dalam konteks eskatologisnya. Ummah itu sendiri juga sama akar katanya
dengan am, masa depan. Wawasan kemasadepanan pada hakikatnya telah
terkandung dalam ajaran tauhid secara sosial. Oleh sebab itu, ia akan selalu
menginspirasi tujuan, usaha, gerakan dan kemajuan.
Gambaran atas
keyakinan, wawasan keilmuan, wawasan sosial, kepemimpinan, dan etos perjuangan
serta pandangan atas hari kemudian merupakan visi dasar dari sosok manusia
“hidup”. Bermula dari visi inilah kemudian manusia membentuk misi kehidupan
dengan arah tujuan yang jelas dalam rumusan hidupnya. Penerimaan konsep
keilahian dimana Allah adalah ilah manusia dan sekalian alam,
berkonsekwensi dengan lahirnya tujuan yang sejalan dengan penerimaan konsep
keilahian tersebut.
Pada tataran ini
Islam menyatakan bahwa syahadat adalah awal dari jalan hidup manusia. Berawal
dari syahadat inilah terbentuk konsep tujuan yang menarik garis langkah manusia
dengan rambu-rambunya. Syahadat memiliki dua unsur yaitu penerimaan Allah SWT
sebagai Ilah dalam kehidupan manusia dan penerimaan Muhammad SAW sebagai
tauladan kehidupan manusia. Dua unsur ini bertitik-tolak dari dalam diri
manusia secara sendiri dan mandiri untuk berhubungan dengan Allah SWT dan
berhubungan dengan manusia lainnya. Tujuan hubungan itu adalah pembentukan diri
manusia itu sendiri.
Pada dasarnya,
penerimaan dan pengakuan keberadaan Allah SWT adalah konsep “pembentukan diri”
yang dimulai dari usaha untuk menemukan siapa manusia itu. Penerimaan manusia
dalam posisi makhluk dan Allah SWT pada posisi sang khalik membawa konsekwensi
bahwa manusia dipenuhi dengan standar-standar yang ditentukan Allah SWT. Pada
konsep penciptaan manusia (seperti Adam AS tercipta), manusia harus menjalani
berbagai proses untuk menemukan siapa dirinya. Proses mengenal benda, mencari
dan menemukan teman hidup, dan pelepasan kehidupan surga yang penuh dengan
kecukupan ke kehidupan di dunia yang serba kurang. Proses inilah yang dinamakan
“hidup”.
Hakikatnya hidup
adalah usaha menuju kesempurnaan jawaban atas pertanyaan “siapa manusia itu?”
Artinya, manusia yang berusaha mencari jawaban adalah manusia yang “hidup”.
Penerimaan dan pengakuan sosok Muhammad SAW sebagai tauladan manusia adalah
pilihan sadar atas bentuk usaha dalam menemukan diri manusia itu. Penerimaan
dan pengakuan atas seorang manusia biasa, berdampak atas lahirnya kewajiban
tiap manusia untuk mengakui keberadaan manusia lainnya dalam usaha penemuan
dirinya.
Penerimaan dan
pengakuan ini menunjukan akan adanya realitas atas ”keberadaan pertanyaan” pada
diri manusia dan realitas ”keberadaan jawaban” pada sang khalik dan manusia
lainnya. Manusia hidup tentu saja akan mencari jawaban-jawaban yang hadir dalam
dirinya. Dan hanya pada sisi Allah SWT jawaban itu dipenuhi secara menyeluruh.
Namun demikian manusia tidak bisa menemukan jalan mencari jawaban pada sisi
Allah SWT tanpa terlebih dahulu menemukan jawaban dari manusia lainnya dan alam
sekitarnya.
Di luar konteks individu
(jama’ah), konsep hidup lebih dikenal dengan ”perjuangan nilai”. Bagi jama’ah
yang terdiri dari individu bersyahadat, bentuk usahanya tentu tidak lepas dari
dua unsur penerimaan dan pengakuan diatas. Akibatnya jama’ah harus menjadi
wahana bagi individu-individu yang hadir didalamnya untuk menjalankan proses
hidupnya. Jama’ah harus memiliki tali yang mengaitkan satu individu dengan
individu lainnya dalam perjuangan nilainya. Sebagai makhluk yang selalu mencari
jawaban-jawaban, individu dalam jama’ah tentu harus dibantu dalam usahanya
tersebut.
Oleh sebab itu pada satu dimensi
jama’ah harus meningkatkan kemampuan individu yang hadir didalamnya dalam
mencari jawaban-jawaban yang ia cari. Kapasitas inilah yang dapat menjadi satu
tali pengait berharga antara satu individu dengan individu lainnya. Hal ini
karena tak adanya jaminan bahwa jama’ah mampu memberi jawaban yang ”memuaskan”
atas semua pertanyaan-pertanyaan yang lahir dalam diri individu-individunya.
Namun individu-individu didalamnya dapat mencari semua jawaban ketika
peningkatan kapasitas diri dalam menemukan jawaban itu terus meningkat.
Namun ketika jama’ah secara
struktural mampu meningkatkan kapasitas individu dalam usaha menemukan jawaban
maka akan lahir jawaban-jawaban yang ditemukan oleh sang individu dalam dua
bentuk proses, yaitu ”pilihan dan kesadaran”.
Dua bentuk proses ini sangat penting dalam kekuatan hidup manusia.
Manusia yang mendapat jawaban atas proses ”memilih dan sadar” akan lebih tidak
mudah goyah dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang datang atau
muncul pada dirinya. Kekuatan ini akan mengecilkan kemungkinan-kemungkinan
keputus-asaan seorang manusia dalam hidupnya.
Kewajiban jama’ah dalam meningkatkan kapasitas
individu-individu dalam menemukan jawaban-jawaban, tentu tidak bisa hanya
terikat dalam lingkaran diri jama’ah itu saja. Karena jama’ah adalah bagian
dari berbagai ummat manusia maka ia juga perlu menciptakan ruang-ruang
interaksi pada lingkungan sekitarnya. Pada akhirnya dari ruang-ruang interaksi
inilah kemudian lahir sebuah kewajiban untuk melakukan peningkatan kapasitas
manusia di luar lingkaran jama’ah itu sendiri.
Semua hal diatas berlaku bagi
jama’ah dilingkungan mahasiswa-mahasiswa Islam. Kaum intelektual yang hadir
dalam proses pencerdasan dirinya sendiri dan menyelesaikan status
kemahasiswaannya untuk mencerdasakan elemen masyarakat lainnya tidak lepas dari
konsep penerimaan dan pengakuan dalam syahadat. Standar kapasitas mahasiswa
adalah awal dari tujuan dari jama’ah dilingkungan mahasiswa. Seiring dengan
usaha mencapai tujuan, jama’ah secara strukturalpun melakukan interaksi dengan
elemen lain untuk membentuk standar kualitas lingkungannya. Pada akhirnya dapat
terukir sebuah teks tujuan yang berbunyi “Terbinanya mahasiswa Islam menjadi
insan ulil albab yang turut bertranggungjawab atas terwujudnya masyarakat yang
diridhoi oleh Allah subhanahu wata’ala”.
1. Hakekat Tujuan HMI
Sebagai organisasi gerakan
kemahasiswaan, Himpunan Mahasiswa Islam
tentulah memiliki tujuan sebagai arah gerakan organisasi. Teks tujuan
organisasi Himpunan Mahasiswa Islam
seperti yang tercantum dalam Anggaran Dasar Himpunan Mahasiswa Islam,
mencerminkan dua bentuk usaha organisasi dalam gerakannya yaitu usaha
organisasi HMI atas pembentukan individu dan usaha organisasi HMI atas
pembentukan masyarakat.
Pada teks tujuan ini perjuangan
pembentukan individu masih menjadi insan cita HMI masih merupakan tanggungjawab
organisasi melalui aktifitasnya sehari-hari. Namun pembentukan masyarakat cita
HMI sudah tidak lagi diserahkan pada individu yang merupakan hasil kaderisasi
yang dilakukan organisasi, tetapi sudah menjadi tanggung jawab organisasi
secara langsung. Hal ini diwujudkan dalam usaha nyata organisasi secara
langsung terhadap berbagai agenda perbaikan kehidupan masyarakat. Dengan
demikian tanggungjawab organiasi secara langsung terdiri dari tanggungjawab
atas pembentukan individu dan tanggungjawab atas pembentukan masyarakat.
Frasa kalimat “terbinanya
mahasiswa menjadi insan ulil albab …………” merupakan frasa yang menempatkan
Himpunan Mahasiswa Islam sebagai organisasi perkaderan. Gerak perkaderan
organisasi HMI tentu saja didasarkan pada pemahaman keIslaman yang utuh dalam
diri seorang individu, sehingga menciptakan seorang insan yang menerapkan
keIslamannya secara kaffah. Bagi HMI, insan ulil albab juga merupakan sebuah
konsep dari wujud kader cita HMI yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
- Hanya takut kepada Allah 1.
Tekun beribadah tiap waktu 2 .
Bersungguh-sungguh mencari ilmu,3
Mampu mengambil hikmah atas anugerah Allah 4.
Selalu bertafakur atas ciptaan Allah yang ada dilangit dan di bumi. 5.
Mengambil pelajaran dari sejarah 6 dan kitab kitab yang
diwahyukan oleh Allah 7 .
Kritis dalam mencermati berbagai
pendapat, mampu memilih yang benar dan yang terbaik 8 .
Tegas dalam mengambil sikap dan
pemihakan atas pilihannya 9,
Tidak terpesona atas pandangan
mayoritas yang menyesatkan 10.
Dakwah dengan sungguh-sungguh
kepada masyarakat dan bersedia menanggung segala resikonya 11. Terutama
sekali ditandai dengan kesediaan menyampaikan peringatan (lunak maupun keras)
pada masyarakat serta mengajarkan ilmu (kebenaran).
Frasa kalimat yang tercantum dalam tujuan HMI ”………
dan turut bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat yang diridhoi oleh Allah
subhanahu wata’ala” merupakan suatu istilah yang sama maknanya dengan
istilah “Baldhatun Thayyibatun Warabbun Ghafurr”. Frasa ini juga
menempatkan organisasi HMI sebagai sebuah organisasi perjuangan yang melakukan
perbaikan seluruh aspek kehidupan masyarakat menuju tatanan yang diridhoi oleh
Allah subhanahu wata’ala. Hal ini merupakan cerminan dari tafsir HMI
pada konsep keIslaman. Konsep yang menempatkan Islam tidak hanya ada pada
sebuah entitas yang bernama “individu” namun juga pada sebuah entitas yang
bernama “sistem sosial kemasyarakatan”.
Kader Himpunan Mahasiswa Islam
yang memiliki keyakinan atas nilai-nilai ke-Islaman yang kuat dan memiliki
kemampuan daya pikir (ilmu) yang bagus merupakan elemen yang akan membuat
organisasi HMI mampu melihat dan membaca segala bentuk realitas masyarakat yang
ada dalam gerak zaman. Semangat berjuang yang dimiliki oleh kader dan
organisasi HMI pada akhirnya akan membuat organisasi HMI mampu melakukan segala
perubahan realitas yang diinginkan dan menempatkan kader dan organisasi
Himpunan Mahasiswa Islam menjadi pemimpin-pemimpin atas banyak perubahan yang
berjalan dalam masyarakat.
Kemampuan akan perubahan tersebut
harus dijadikan arahan gerak organisasi tentunya. Hal ini demi terciptanya
masyarakat yang telah dicita-citakan oleh organisasi HMI itu sendiri yaitu
masyarakat yang “Baldatun Thayibatun Warabbun Ghafur”. Himpunan Mahasiswa
Islam menerjemahkan masyarakat cita tersebut dalam tujuh karakteristik
masyarakat Baldatun Thayibatun Warabbun Ghafur, yang kemudian dijadikan
standar capaian tujuan perjuangan organisasi dengan segala bentuk usahanya.
Karateristik ini juga akan menjadi alat ukur apakah Himpunan Mahasiswa Islam
mampu mewjudkan tujuannya atau tidak. Karakateristik
tersebut adalah:
- Adanya semangat rabbaniyah atau rabbiyah yang terformulasikan dalam konsep tauhid 12 .
Tegaknya keadilan yang bersendikan
keteguhan pada hukum 13 .
Adanya sistem amar ma’ruf nahi
munkar dalam sistem sosial masyarakat 14
Memiliki semangat keterbukaan
dengan selalu berprasangka baik 15 .
Menjunjung tinggi sikap musaywarah
dan sikap egaliter dalam suasana persamaan hak dan kewajiban 16 .
Memiliki semangat persaudaraan
(ukhuwah), saling memahami, toleransi, saling menasehati dan tolong menolong 17.
Tumbuhnya sikap untuk tdak selalu
merasa benar atau tidak adanya klaim kebenaran 18 .
2. Hakekat Perkaderan dan Perjuangan
Perkaderan HMI merupakan upaya
peningkatan kualitas anggota-anggotanya dengan memberikan pemahaman ajaran dan
nilai kebenaran Islam secara penuh hikmah, kesabaran dan kasih sayang.
Perkaderan tersebut meliputi pembinaan sikap serta penambahan pengetahuan dan
keterampilan yang memungkinkan kader HMI tampil sebagai sosok khalifah Allah di
muka bumi. Sedangkan hakekat perjuangan HMI adalah kesungguhan melaksanakan
ajaran Islam pada kehidupan masyarakat secara bertahap dan konsisten diseluruh
aspeknya.
HMI pada hakekatnya bukanlah
organisasi massa dalam pengertian fisik atau politik, melainkan wadah atas
pendidikan dan alat perubahan. Dalam hal ini HMI menempatkan dirinya sebagai
bagian umat Islam secara keseluruhan bukan sebagai sebuah klompok yang merasa
memiliki dan memonopoli kebenaran Islam. Pada proses pendidikan kader dan
perubahan masyarakat dituntut untuk dapat menerima segala jenis individu yang
memiliki keberagaman pemahaman keIslaman dan dituntut untuk dapat berinteraksi
dalam segala bentuk masyarakat yang memiliki kebergaman idiologi.
Sebagai wadah pendidikan HMI
berusaha dengan kesungguhan dan dengan totalitasnya membentuk mahasiswa yang
dapat melakukan perbaikan masyarakat disegala medan perjuangan dan disegala
waktu. Sebagai alat perubahan HMI secara tekun dan istiqomah melakukan
perbaikan-perbaikan kehidupan masyarakat dengan melibatkan diri secara langsung
dalam proses amar ma’ruf nahi mukar pada sitem sosial masyarakat umum.
Catatan Akhir
1.
Al Baqarah/2:197; Ath
Thalaq/65:10 12. Ali Imran/3:79 dan 146
2. Az Zumar/39:9 13.
Annisa/4:58; Al Hadid /57;25;
3. Ali Imron/3:7 Al Hujuraat/49:9
4. Al Baqarah/2:269 14. At Taubah /9:7; Fush Shilat/41:46;
5. Ali Imron/3:190-191; Az Zumar /39:21
Al Ja’atsiyah/45:15
6. Yusuf/12:111; Shad/38:43 15.
Al A’raf/7:172; Ar ruum/30:30;
7. Shad/38:29; Al Mukminun/40:54
Al Hujurat/49:12; Annisa/4:28
8. Az
Zumar/39:18 16.
Asyura/42:38; Ali Imran/3:159;
9. Al Baqarah/2:179
Alhujurat/49:3
10. Al Maidah/5:100 17.
Al Hujurat/49:10-12
11. Ar Ra’ad/13:19-22; Ibrahim/14:52 18.
Az Zumar/39:17-18
BAB III
USAHA
Tujuan
adalah sebuah pegangan, sebagaimana umat Islam memiliki syahadat yang berfungsi
sebagai dasar dan tujuan atas proses hijrah kediriannya. Hijrah inilah yang dimaknai sebagai bentuk
ikhtiar dalam mencapai tujuan kedirian manusia sebagai makhluk dari sang
khalik.1 Simbolisasi hijrah dalam khasanah Islam adalah
perginya umat Islam dari Makkah menuju Madinah. Pergi dari lingkungan yang
tidak menjamin kehidupan keimanan umat Islam menuju lingkungan yang mampu
menjaga kehidupan keimanan umat Islam saat itu. Tak seorangpun dari sesama umat
muslim saat itu yang dapat memberi jaminan atas keberhasilan perjuangan
tersebut. Baik saat keberangkatan maupun saat perjalanan, mereka dapat saja
gagal karena usaha kaum Mekkah yang mencegah prosesi ini.2
Namun
keyakinan atas perlindungan Allah SWT atas dasar petunjuk Muhammad SAW
memberikan kekuatan bagi umat Islam untuk menapaki gurun yang panas membakar
tanah, terusir dari kaumnya,3 meninggalkan rumah yang telah dibangun dengan
keringatnya sendiri, meninggalkan keluarga yang telah hadir sejak mereka lahir,
meninggalkan lingkungan yang telah menghidupi mereka sejak hadir dimuka bumi
menuju sebuah lingkungan yang baru. Lingkungan yang segalanya harus dimulai
dari awal seperti saat mereka baru dilahirkan oleh sang ibu.
Keyakinan ini bukan keyakinan
kosong karena dalam Al qur’an berulangkali Allah SWT berfirman bahwa umat yang
berhijrah adalah umat yang dilindungi oleh Allah SWT atas kehidupan meraka
didunia dan diakhirat sebagai wujud taqwa mereka kepada Allah SWT.4 Hal ini karena prosesi Hijrah merupakan
pembuktian atas syahadat yang telah diikrarkan oleh masing-masing umat muslim.
Atas dasar inilah Allah berfirman behwa umat yang berhijrah adalah umat yang
sebenar-benarnya beriman.5
Proses Hijrah akhirnya memberi pesan bahwa
Syahadat sebagai bukti keislaman harus diikuti dengan aktifitas diri yang nyata
untuk menjadi orang beriman. Perubahan sikap diri dari tingkatan kaum muslim
menjadi kaum mukmin dan akhirnya muttaqin harus terlihat dari sikap keseharian.
Meninggalkan sesuatu yang tidak diperkenankan oleh Allah menuju jalan yang
ditunjuk oleh Allah SWT adalah inti dari Hijrah tersebut.
Secara aktif menjalani jalan yang ditunjuk
oleh Allah SWT untuk menjadi seorang yang beriman dan bertaqwa dapat terlihat
dalam dua sikap diri yaitu sikap Amar Ma’ruf dan Sikap Nahi Munkar.6 Mulai dari diri sendiri sebagaima mulainya
diri bersyahadat dan kemudian dilanjuti dengan lingkungan sekitar diri tersebut
sebagaimana kewajban umat Islam untuk berdakwah. Keyakinan yang kuat dan
Istiqomah adalah tuntutan dalam menjalani sikap dengan pola Amar Ma’ruf dan
Nahi Munkar.
1. Amar
Ma’ruf
Amar ma’ruf yang
bermakna menyampaikan kebenaran adalah sebuah sikap untuk menunjukan bahwa saya
telah bersyahadat dan kamu sekalian harus mengetahui bahwa syahadat adalah
titik keberangkatan atas sebuah keimanan, maka bersyahadatlah.7 Penyampaian konsep ke-Ilahi-an dan Ke-Rasul-an
dalam syahadat adalah sikap yang harus dihadirkan dalam segala bentuk gerak
tubuh umat Islam setiap saat.
Konsep ke-Ilhai-an dan ke-Rasul-an adalah
sebuah kabar gembira sekaligus peringatan bagi umat manusia.8 Pesan yang lahir dari konsep ini kemudian
harus disampaikan kepada yang lain
sebagai jalan yang diridhoi oleh Allah SWT. Kabar gembira dan peringatan ini
tentunya dapat dilihat langsung dari firman-firman-NYA yaitu Alqu’an.
Keyakinan atas Al Quran sebagai firman Allah
SWT dan menyampaikannya kepada umat manusia lainnya, adalah sebuah wujud atas
syahadat pertama (konsep ke-Ilahi-an) yang diikrarkan oleh tiap umat Islam.9 Artinya ikrar tanpa penyampaian adalah sebuah
syahadat yang tak ber-ADA dalam diri umat Islam. Namun tentu saja Al Qur’an
tidak didapat manusia begitu saja dengan sendirinya, sehingga pengakuan
Muhammad SAW sebagai pembawa firman Allah SWT adalah kemutlakan yang tak dapat
ditentang.
Pada akhirnya umat Islam adalah umat Muhammad
SAW yang mengakui keberadaannnya dan mengikuti pola kehidupannya dan terus
melanjutkan penyampaian kabar gembira dan peringatan sebagaimana Muhammad SAW
lakukan. Sehingga umat Islam adalah umat Muhammad SAW yang mengikuti pola
kehidupan Muhammad SAW dan terus melanjutkan penyampaian kabar gembira dan
peringatan sebagaimana Muhammad lakukan. Oleh sebab itu semua bentuk jalan yang
diridhoi oleh Allah SWT, merujuk kepada Muhammad SAW sang tauladan.10
Tauladan, hal ini harus mampu dilahirkan umat
Islam saat penyampaian kabar gembira dan peringatan. Tauladan merupakan
kekaffahan seorang insan dalam ber-Islam. Penyampai yang tak memiliki
ketauladanan adalah seorang pembohong belaka. Adalah kenyataan bahwa tak ada
yang bisa membenarkan Muhammad SAW sebagai seorang pembohong dimata umatnya
maupun dimata musuh-musuhnya.11 Hal ini
karena Muhammad SAW memiliki ketauladanan yang diakui oleh semua pihak. Pun
keberadaan ketauladanan Muhammad SAW tetap ada yang tidak mengikutinya apalagi
seorang pengikut Muhammad SAW- yang menyampaikan kabar gembira dan peringatan
tanpa ketauladanan dalam dirinya, tentu saja hanya seorang pembohong besar bagi
manusia lainnya.12
2. Nahi
Munkar
Sisi lain yang harus
terlengkapi dalam sebuah ”hijrah” adalah keberadaan sikap ”Nahi Munkar”. Nahi
Munkar yang secara harfiah berarti mencegah kemungkaran, merupakan sikap aktif
insan beriman untuk menghindari diri dan lingkungannya dari orientasi-orinetasi
hidup dan perilaku yang tidak diridhoi oleh Allah SWT. Oleh sebab itu setiap
muslim yang beriman tidak cukup hanya dengan sikap amar-ma’ruf, namun juga
harus melengkapinya dengan sikap Nahi Munkar.
Hal ini dapat ditempuh dalam berbagai jalan,
antara lain menghilangkan penyakit hati, tidak mencegah diri dan orang lain
terhadap suatu kebaikan yang akan dibuat,13 dan aktif dalam mendamaikan setiap
perselisihan14 yang muncul serta menjaga dan meneruskan
nilai-nilai kenabian dan kerasulan yang dibawa oleh nabi besar kita Muhammad
SAW.15
Islam selalu menyatakan bahwa penyakit hati
merupakan sumber kemungkaran yang terjadi disepanjang sejarah kehidupan manusia
didunia ini. Iri, dengki, ria takabur dan sebagainya merupakan penyakit hati
yang selalu memunculkan kemungkaran pada diri sendiri dan pada lingkungannya.
Rasul selalu mengajarkan kita untuk selalu berintrospeksi diri disaat kita
beribadah. Terutama pada saat menunaikan ibadah malam sebagai sebuah terapi
untuk menyembuhkan penyakit hati. Terapi ini harus dijaga dengan sikap untuk
selalu ikhlas dan menghormati atas apa yang dihadapi dikeseharian kehidupan.
Kedua sikap ini lahir dari prinsip bahwa tidak ada yang lebih berhak atas
seorang insan terhadap insan lainnya selain Allah SWT.16
Sikap ini dengan sendirinya akan berimbas pada
sikap kaum mukmin yang tidak membuat kerusakan dimuka bumi. Hal ini karena
sikap saling menjaga telah tumbuh dalam diri umat yang beriman tersebut.
Sebagaimana Allah tidak menciptakan manusia sebagai makhluk perusak di muka
bumi sebagaimana yang ditakutkan oleh malaikat.17 Jadilah umat islam adalah rahmat
seru sekalian alam. Tentu saja hal ini hanya berlaku bagi orang yang
benar-benar beriman, di manapun ia berada ia selalu membawa kebaikan dan selalu
tidak mencegah sesuatu kebaikan tercipta di lingkungannya. Bahkan umat muslim
dikatakan beriman jika ia tidak membiarkan sebuah perselisihan berlanjut terus
tanpa ada usaha untuk mendamaikannya.18 Perselisihan adalah api yang semakin besar
semakin tak dapat dikendalikan.
Itulah
sebaik-baiknya ikhtiar dari umat pengikut Rasulullah SAW diakhir zaman.
Umat-umat beriman inilah yang selalu menjaga nilai kenabian dan kerasulan tetap
hadir di muka bumi dengan membawa kedamaian dan keadilan bagi alam semesta.
Ikhtiar ini tidak hanya sekedar ucapan namun juga lahir dari setiap noktah
perilaku kehidupan kaum mukmin dan telah menjadi Ikhtiar menuju ridho Ilahi.
3. Pembentukan Individu.
Hijrah sebagai ikhtiar
harus dimulai dari diri sendiri. Membentuk diri dalam standar-standar kaum
”muttaqin” adalah keniscayaan ikhtiar kaum mukmin. Al Qur’an menyebutkan
beberapa standar yang dapat dibentuk pada tiap insan, diantaranya muabid,
mujahid, mujtahid hingga akhirnya menjadi mujadid. Standar-standar tersebut
bagian dari standar insan yang membawa rahmat bagi alam.
· Mu’abbid : menjadi
insan yang tekun beribadah, mulai dari ibadah yang terkait pada dirinya maupun
terkait pada lingkungannya.19
Mujahid : memliki semangat juang yang tinggi
sehingga ia memiliki pemahaman dan kemampuan berjihad dalam garis agama.20
Mujtahid : memiliki kemampuan berijtihad
sehingga segala tindakannya didasarkan pada pilihan sadar dari dalam dirinya.21
·
Mujadid : memiliki kemampuan dalam melakukan
pembaharuan di lingkungan sekitarnya.22
Pencapaian standar
tersebut bukanlah hal yang mustahil untuk dibentuk. Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa tiap insan sebagai makhluk ditakdirkan memiliki potensi
kemampuan untuk menghadapi dunia kehidupan. Potensi inilah yang harus dilihat
dan dikembangkan pada tiap diri manusia. Potensi merupakan ruh kehidupan yang
bergelora. Semakin dikembang-olahkan semakin hidup menyala ruh kehidupan dan
semakin dekat dengan keberhasilan pencapaian standar kaum muttaqin.
Adalah kedzaliman pabila ada usaha yang mematikan
potensi-potensi dasar kehidupan manusia, karena sama dengan melakukan
penindasan hidup dan kehidupan. Tidak ada potensi yang baik atau tidak baik.
Namun yang ada hanya arah pengembangan potensi berada diluar jalan yang
diridhoi Allah SWT atau di jalan yang diridhoi oleh Allah SWT sebagaimana
jalannya umat-umat yang bertaqwa.23
Potensi diri pada tiap insan dapat
teridentifikasi saat tiap insan berinisiatif untuk berinteraksi secara aktif
dengan lingkungannya. Lingkungan ini memiliki daya penarik atas potensi yang
tersembunyi dalam jasad dan pikiran manusia. Maka inisiatif dan keaktifan
manusia untuk berinteraksi dalam lingkungannya menjadi keharusan dalam mencapai
keberhasilan pembentukan standar kualitas insan bertaqwa.
Maka kesadaran untuk masuk dalam sebuah
lingkungan dan kemampuan memilih sebuah lingkungan akan menentukan bagaimana
potensi diri berproses dan memberi bentuk kualitas diri.24 Pemilihan lingkugan akademis yang dominan akan
memicu potensi akademis manusia untuk berproses membentuk kualitas diri yang
lebih akademis pula. Lingkungan berfungsi sebagai faktor eksternal manusia yang
ikut memberi sumbangsih dalam memilih rupa kedirian yang terbentuk.
4. Pembentukan Masyarakat.
Tak
ada satu insanpun yang bisa menjamin bahwa pembentukan kualitas diri oleh
dirinya secara sendiri dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan.25 Kenyataan ini melahirkan sebuah kebutuhan
elemen eksternal untuk membantu menjaga proses pembentukan diri umat beriman.
Tentu saja elemen eksternal ini adalah insan lainya beserta dengan
interaksinya.26 Interaksi pada akhirnya akan membentuk sebuah
komunitas yang lebh dikenal dengan masyarakat. Dengan demikian pembentukan diri
otomatis merupakan pembentukan masyarakat pula. Dengan kata lain, proses diri
akan melahirkan proses komunitas dalam lingkungan diri tersebut.
Secara lebih luas interaksi diri dengan insan
lainnya yang kemudian menjadi bagian
dari proses pembentukan masyarakat, tentu saja sama dengan pembentukan sistem
kemasyarakatan. Sistem inilah yang menjadi salah satu penjaga diri untuk
memberi jaminan lebih atas proses diri yang dijalankan kaum mukmin dan
muttaqin.27 Jalan umat-umat yang beriman dan bertaqwa,
bukan jalan yang memiliki sistem kemasyarakatan yang menindas sesama manusia
namun memiliki sistem yang saling menjaga keselamatan satu dengan yang lainnya.
Kaum mukmin bukan kaum yang melaknat sesama
manusia namun merupakan kaum yang menjadi rahmat bagi seluruh manusia.28 Oleh sebab itu kaum mukmin memiliki kewajiban
berinteraksi pada komunitasnya dengan memberi jaminan keselamatan pada
sesamanya. Interaksi yang buruk dalam komunitas tentu akan membentuk masyarakat
yang tidak bisa saling menjaga keselamatan satu dengan lainnya. Pada akhirnya
akan membawa seluruh kaum tersebut kedalam jurang kehancuran bagi kaum itu
sendiri.29
Kewajiban yang melekat pada kaum mukmin dalam
membentuk masyarakat dan sistem kemasyarakatan bukan hanya untuk menyelamatkan
kaum itu sendiri namun juga untuk menyelamatkan diri-diri umat beriman itu
sendiri. Tak ada kaum mukmin yang selamat dalam komunitas yang hancur.30 Karena kaum
mukmin itu sendiri tidak mampu menyelamatkan komunitas tersebut. Kehancuran
atas sebuah kaum adalah sebuah penyangkalan manusia atas takdir penciptaan
dirinya sendiri yaitu takdir sebagai khalifah bagi dunianya. Takdir yang
menyatakan bahwa manusia adalah pemelihara atas keberadaan dunianya.
Pada akhirnya terbentuknya sistem yang dapat
menjaga satu insan dengan insan lainnya menjadi indikator ikhtiar umat beriman
dalam proses hijrah dirinya. Kegagalan pembentukan sistem kemasyarakatan ini
akan membawa kegagalan ikhtiar dalam berhijrah yang tentu saja menjadi sebuah
kegagalan dalam mengamalkan ikrar syahadat yang telah ia lakukan.
Catatan Akhir
1. Al Baqarah/ 2 : 218 16. Ad Dukhaan/ 44 : 8
2. An Nisa/ 4 : 100 17. Al Baqarah/2 : 30
3. Al Imran / 3 : 195 18. An Nisa/ 4 : 59, Al
Hujurat/ 49 : 10
4. An
Nahl/ 16 :41 19. Al Maidah/ 5 : 2
5. Al
Anfal/ 8 : 74 20. Al Hujarat/ 49
: 15
6. Al Imran/ 3 : 110 21. Al Maidah/ 5 : 48,55
7. Fushilat/ 41 : 6 22. Al Muddatsir/ 27 :
1-7
8. Al
Araf/ 7 : 188 23. Al Balad / 90
: 10
9. As
Syura/ 42 : 15 24. Al Fatihah/ 1 :
5-6
10. Al
Furqan/ 25 : 56-57 25. At Taubah/ 9 : 122
11. Al Qalam/68 : 4-6 26. Al Baqarah / 2 213
12. Al
Ahzab/ 33 : 60 27. As Syuraa/ 26 :
55 - 56
13. Al
A’raf/ 7 : 44 - 45 28. An Nisa/ 4 : 92
14. Al Hujarat/ 49 : 9 29. Al Ankbut/ 29 : 38-39
15. Al A’raf/ 7 :158 30. At Tahrim/ 66 : 11
BAB IV
INDEPENDENSI
Manusia diciptakan dalam keadaan suci bersih (fitrah) 1. Sebagai. hamba sekaligus sebagai khalifah yang mengemban amanah 2, manusia dikarunia kemerdekaan atau kehendak bebas oleh Allah Subhanahu Wata’ala 3. Kemerdekaan tersebut mengandung konsekuensi pertanggungjawaban. Segala jalan hidup pilihan manusia yang pada hakekatnya hanya terdiri dari jalan haq dan jalan bathil, akan beroleh balasan setimpal dari Allah SWT.
Dengan jalan kemurahan-Nya Allah memberi manusia ilmu pengetahuan
dan petunjuk jalan keselamatan yang dapat ditempuh manusia melalui para nabi
dan rasul yang diutus serta kitab suci yang diturunkan. Berbagai institusi
telah dianugerahkan Allah SWT pada diri manusia agar dapat menikmati kemurahan
Allah tersebut, seperti akal, hati dan intelek. Dengan demikian, kemerdekaan
sesungguhnya akan menjadi rahmat yang sebenar-benarnya bagi manusia bila
disikapi dan diaktualisasikan berdasar petunjuk jalan yang benar dari Allah.
Kemerdekaan semacam ini bermakna pilihan yang sadar dan bertanggungjawab atas
jalan hidup tertentu serta secara konsisten meninggalkan pilihan lahirnya.
Secara sosiologis, kemerdekaan yang disikapi demikian
akan tampak sebagai pemihakan. Pemihakan terhadap segala sesuatu yang berasal
dari dan bertujuan kepada kebenaran. Pemihakan yang tercermin dalam kerja-kerja
kemanusiaan atau amal shalih yang menjadi rahmat bagi umat manusia dan alam
semesta pada umumnya.
Sikap yang demikian bukanlah tanpa
resiko, bahkan kemungkinan memerlukan pengorbanan dan penderitaan yang cuku[p
berat. Allah sudah mengisaratkan bahwa tidak akan diterima begitu saja pernyataan
beriman atau berpihak dari manusia, melainkan mereka akan diuji dengan berbagai
cobaan besar dan kecil. Akan tetapi Allah SWT tidak akan memberikan cobaan yang
melebihi kapasitas yang dimiliki oleh mereka yang diuji, sehingga seharusnya
segala resiko dapat ditanggung dengan tabah dan sabar oleh para pejuang Islam 4.
Secara logis, sikap yang demikian
menuntut adanya kemampuan diri yang memadai dalam segala aspek kehidupan.
Kemampuan yang berasal dari pengembangan berbagai institusi diri dengan seimbang
yang dimungkinkan oleh konsistensi sikap disatu sisi dan pemahaman medan juang
yang baik disisi lainnya. Ini berarti, memerlukan proses pembelajaran secara
terus menerus yang tercermin dalam sikap kritis, obyektif dan progersif. Pada
akhirnya secara sosiologis dan politis mereka dituntut untuk amat berperan
menentukan jalannya sejarah peradaban manusia.
1. Sifat Independen HMI
Mengacu pada kerangka pemikiran dan
pemahaman Islam tentang fitrah dan kemerdekaan manusia diatas, maka Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) menjadikan sikap independensi sebagai sikap yang mewarnai
gerak hidup organisasi HMI dari waktu-kewaktu. Pernyataan ini bukan pernyataan yang
mengada-ada atau diada-adakan karena pernyataan ini merupakan ketetapan
organisasi yang disebutkan dalam
Anggaran Dasar HMI. Bunyi pernyataan dalam pasal tersebut adalah: “organisasi ini bersifat idependen”.
Independensi HMI tersebut
merupakan pernyataan sikap terhadap semua kebenaran dari Allah SWT,
memperjuangkan tanpa mengenal lelah dan siap menerima resiko perjuangan,
memihak kepada siapapun yang juga memihak dan memperjuangkan nilai kebenaran,
dan akhirnya semata-mata menggantungkan diri kepada Allah SWT dalam segal
urusan. Sebliknya, HMI menolak semua nilai kebathilan dan menolak segala bentuk
kerja sama dengan pihak-pihak yang menghidupkan kemungkaran dimuka bumi.
Secara teknis, independnsi berarti
HMI tidak menjadi bawahan (underbouw) organisasi lain. HMI juga tidak
akan membuat ikatan organisatoris dalam bentuk permanen dengan pihak lain
(individu atau organisasi) yang menetapkan aturan main yang lebih tinggi dan
mengikat HMI secara organisatoris.
Independensi juga berarti sikap
bebas disegala bidang dengan penuh kepercayaan kepada diri sendiri untuk secara
aktif memperjuangkan misi HMI. Oleh sebab itu dalam arus gerakan-gerakan Islam
pada umumnya dan di Indonesia khususnya, HMI berpartisipasi aktif, konstruktif
dan korelatif. Disatu pihak HMI tetap setia dan bersungguh sungguh menempatkan
diri sebagai bagian integral dari gerakan Islam secara keseluruhan. Dilain
pihak HMI tetap mempertahankan sikap kritis dan mandirinya. Dengan sikap yang
demikian HMI ingin memberi kontribusi yang berarti kepada perjuangan Islam yang
sesungguhnya.
Independensi
HMI sangat dimungkinkan, bahkan amat strategis, mengingat anggota-anggotanya
adalah para mahasiswa muslim. Mahasiswa muslim adalah bagian dari umat yang
memiliki dua karakteristik utama, yaitu kepemudaan dan keintelektualan.
Kepemudaan memungkinkan mereka untuk menjadi kekuatan moral karena watak yang
belum terkototri oleh berbagai kepentingan, serta menopang keberanian untuk
mengadakan pembaharuan. Sedangkan keintelektualan menjadi modal bagi peran
penting mereka dalam perubahan sosial, mengingat waktu kritis dan kemampuan
untuk memikirkan dan membuat karya – karya besar untuk masyarakat dan peradaban
manusia.
2. Sikap Indpenden Kader HMI
Independen adalah sifat organisasi yang implementasinya diwujudkan dalam
bentuk sikap-sikap organisasi seperti yang diuraikan diatas. Sikap sikap
semacam itu dalam skala individual anggota HMI juga harus mengalami
internalisasi dan tampak pada segala aktifitas kesehariannya.
Sikap–sikap anggota HMI yang mencerminkan bahwa mereka adalah kader dari
organisasi yang bersifat independen merupakan derivasi dari karakteristik Ulil
Albab yang menjadi cita insan HMI. Beberapa sikap terpenting adalah cenderung
kepada kebenaran (hanief), merdeka, kritis, jujur, progresif, dan adil. Dengan
demikian kader HMI adalah orang-orang yang sanggup berlaku dan berbuat secara
mandiri dengan keberanian menghadapi resiko. Ini menuntut adanya kemampuan dari
setiap kader HMI, sehingga mereka dapat mempengaruhi masyarakat dan mengarahkan
sistem kehidupan manusia kearah yang dikhendaki Islam.
Secara teknis, kedar HMI harus
tunduk kepada ketentuan-ketentuan organisasi dan memperjuangkan misi HMI
dimanapun ia berada. Mereka tidak dibenarkan mengadakan sesuatu komitmen dalam
bentuk apapun dengan pihak luar HMI yang bertentangan dengan yang telah
diputuskan secara organisatoris.
Catatan Akhir
1. Al Araf/7:172
2. Al Ahzab/33:72
4.
Al Kahfi/18:29
Al Baqarah/2:155-156